
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pada 6 Januari lalu menghadapi berbagai masalah yang cukup meresahkan. Sejumlah kasus keracunan makanan yang menimpa siswa-siswa di berbagai daerah setelah mengonsumsi menu dari program ini menjadi perhatian publik. Hal ini mencuatkan kekhawatiran serius terkait dengan keamanan pangan dan kualitas kandungan gizi dalam menu yang disediakan.
Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah S. Saminarsih, mengungkapkan bahwa kasus keracunan tersebut disebabkan oleh penerapan standar keamanan pangan yang belum optimal, terutama dalam sistem manajemen risiko seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).
“Sistem ini seharusnya diterapkan di setiap fase, dari produksi hingga distribusi, untuk menjamin keamanan pangan yang sampai ke konsumen,” kata Diah dalam keterangannya, dikutip Minggu (20/4/2025).
Selain itu, CISDI juga menyoroti masalah lain, yakni penggunaan produk makanan ultra-olahan yang mengandung gula, garam, dan lemak tinggi (GGL) dalam menu MBG.
Dalam penelitian mereka, 45 persen sampel menu MBG mengandung produk seperti susu kemasan berperisa yang tinggi gula, yang jelas bertentangan dengan pedoman gizi yang disusun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Penggunaan produk-produk tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan, terutama bagi anak-anak yang menjadi sasaran utama program ini,” ungkap Diah.
Masuknya makanan ultra-olahan dalam menu MBG juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang menegaskan pentingnya pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak, serta pengaturan ambang batas kandungannya.
“Produk-produk seperti sereal instan, biskuit kering, dan susu kemasan berperisa ditemukan dalam menu MBG di sejumlah sekolah. Meski dikombinasikan dengan makanan sehat lainnya seperti telur rebus, roti, atau buah, kehadiran produk-produk tinggi GGL ini tetap mengkhawatirkan,” ucap Diah.
Maka dari itu, CISDI dan berbagai organisasi masyarakat sipil pun mengecam keputusan Badan Gizi Nasional (BGN) yang memasukkan makanan ultra-olahan tersebut dalam menu MBG. Menurut mereka, hal ini justru bisa berisiko memicu obesitas dan masalah kesehatan lainnya dalam jangka panjang bagi anak-anak.
Di tengah permasalahan ini, Diah mengungkapkan bahwa masih ada waktu untuk memperbaiki kekurangan dalam program MBG, dengan melakukan perbaikan dalam tata kelola, penyempurnaan regulasi, dan penguatan standar keamanan pangan serta gizi.
“Pemerintah diharapkan segera menangani masalah ini agar tujuan awal dari program MBG, yaitu meningkatkan status gizi masyarakat, bisa tercapai dengan baik,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement