
Mulai 1 Maret 2025, pelaku usaha kelapa sawit, khususnya yang menggeluti ekspor, kembali ketiban beban baru.
Mereka wajib 'memarkirkan' duitnya di bank selama setahun sebesar 100% persen dari Dana Hasil Ekspor - Sumber Daya Alam (DHE-SDA). Nilai ini berdasarkan Pemberitahuan Pabean Ekspor (PPE).
Jadi, kalau misalnya DHE-SDA 1 Juni 2025 atas PPE 15 Maret 2025 sebesar USD1,5 juta dan DHE-SDA 1 Juni 2025 atas PPE 16 Maret 2025 USD800 ribu, maka kewajiban penempatan DHE-SDA eksportir pada Juni 2025 adalah sebesar USD2,3 juta.
Angka-angka semacam ini muncul setelah Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2025 tentang Devisa Hasil Ekspor Dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, Dan/Atau Pengolahan Sumber Daya Alam pada 17 Februari 2025 lalu.
Aturan ini dibikin sebagai perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang hal yang sama. Dan oleh perubahan aturan ini pula, eksportir sawit semakin terbebani. Kenapa?
Karena pada peraturan sebelumnya, penempatan DHE-SDA baik untuk sektor pertambangan berupa selain minyak dan gas bumi, sektor perkebunan, sektor kehutanan, dan sektor perikanan atau sektor pertambangan berupa minyak dan gas bumi, nilainya masih sama-sama 30%. Sudahlah nilainya cuma segitu, penempatannya juga tidak lama, hanya 3 bulan.
Semua rincian tentang DHE-SDA ini bisa ditengok pada pasal 7 di masing-masing peraturan itu, termasuk dalam penjelasan peraturannya.
Namun setelah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2025 tadi nongol, hanya penempatan duit DHE-SDA sektor pertambangan berupa minyak dan gas bumi yang cuma menyetor 30% dan limit penempatannya cuma 3 bulan.
Menengok aturan baru inilah kemudian membikin praktisi sawit dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, khawatir.
Sebab menurut dia, aturan penempatan duit yang besar dan lama itu, akan berdampak serius pada petani sawit swadaya.
"Memang, petani kecil tidak mengekspor langsung hasil produksinya, paling hanya sampai pada tengkulak, kelembagaan petani seperti kelompok tani atau koperasi. Paling jauh ya langsung ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS)," katanya.
Hanya saja menurut Darto, dalam ekosistem kelapa sawit (rantai supply), PKS justru sangat bergantung pada eksportir.
Di sinilah kata Darto kekhawatiran itu mulai muncul. Ketika penempatan DHE-SDA tadi berdampak pada eksportir, maka dampak itu akan merembet kepada PKS.
Sebab gara-gara duitnya tertahan di bank, eksportir menjadi tidak leluasa membeli CPO dari PKS. Daya belinya menjadi terbatas.
Kalau sudah seperti ini kata Darto, PKS juga akan menyesuaikan diri. PKS akan membatasi pembelian Tandan Buah Segar (TBS), khususnya dari petani.
"PKS akan lebih memprioritaskan TBS dari perusahaan groupnya. Enggak mungkin PKS menumpuk CPO nya di tanki timbun kan?" ujarnya.
Nah, bila PKS sudah melakukan pembatasan, otomatis kata Darto, hasil produksi petani tidak akan terserap semua. Maka, sama seperti PKS, petani juga mau tak mau menunda panen.
Hal ekstrim yang berkemungkinan terjadi kata Darto, hasil panen petani laku, tapi harganya tertekan. "Saat ini saja harga TBS petani sudah melandai antara Rp30-Rp50 per kilogram," terangnya.
Bila kondisi semacam ini berlarut, Darto khawatir PKS bakal banyak yang tutup. Konsekkwensinya tentu pemutusan hubungan kerja massal bakal terjadi.
"Tapi kalau aturan yang sekarang disamakan seperti peraturan sebelumnya, penempatan duit DHE-SDA itu hanya 30%, besar kemungkinan stabilitas rantai pasok akan terjaga," katanya.
Bagi Akhmad Indradi, aturan memarkirkan duit selama 12 bulan di bank atas dalih penempatan DHE-SDA itu adalah cara instan yang dilakukan oleh pemerintah menjaga devisa biar enggak lari ke luar negeri.
"Mestinya pemerintah bergegas menyelesaikan persoalan mendasar yang ada; mengembalikan kepemilikan SDA itu sesuai pasal 33 UUD 45 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai dan pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Itu," Wakil Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo ini menyodorkan solusi.
Selama ini kata Indra, SDA Indonesia itu dominan dikuasai oleh asing. Itu makanya devisa hasil penjualan SDA itu lari ke luar negeri.
"Kalaupun ada yang tinggal di Indonesia, paling cuma biaya produksi (biaya operasional dan biaya tenaga kerja)," dia mengurai.
Lebih jauh jebolan MMA Universitas Gadjah Mada ini menyebut, sebetulnya rakyat Indonesia tidak benar-benar memiliki dan menikmati kekayaan SDA nya.
"Kalau SDA itu benar-benar dimiliki dan dinikmati oleh rakyat Indonesia, maka devisa akan tinggal di dalam negeri, disimpan di dalam negeri, ditukarkan oleh rupiah di dalam negeri, dibelanjakan dan berputar menggerakkan ekonomi di dalam negeri. Tapi faktanya kan enggak begitu. Wajar saja rakyat pada negeri yang kaya SDA ini masih banyak yang miskin. Ini sangat ironis," lelaki ini miris.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
Tag Terkait:
Advertisement