Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perjalanan Prajogo Pangestu Pendiri Barito Pacific, dari Sopir hingga Jadi Konglomerat Terkaya Indonesia

Perjalanan Prajogo Pangestu Pendiri Barito Pacific, dari Sopir hingga Jadi Konglomerat Terkaya Indonesia Kredit Foto: Barito Pacific
Warta Ekonomi, Jakarta -

Nama Prajogo Pangestu kini identik dengan kesuksesan bisnis kelas dunia. Ia dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Barito Pacific Group, konglomerasi raksasa yang bergerak di berbagai sektor industri—mulai dari kayu, petrokimia, energi, hingga pertambangan. Namun, siapa sangka bahwa pria yang kini dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia ini pernah hidup dalam keterbatasan dan memulai kariernya dari nol, bahkan diceritakan sempat menjadi sopir angkot dan pedagang kecil.

Prajogo Pangestu, yang memiliki nama asli Phang Djoen Phen, lahir pada 13 Mei 1944 di Bengkayang, Kalimantan Barat. Ia berasal dari keluarga Hakka yang merantau dari Guangdong, Tiongkok. Kehidupan masa kecilnya jauh dari kemewahan. Ayahnya hanyalah seorang pedagang karet kecil, dan kondisi ekonomi keluarga membuat Prajogo tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi, ia hanya mampu menyelesaikan sekolah menengah pertama.

Tahun 1965, dengan tekad besar untuk mengubah nasib, Prajogo merantau ke Jakarta dan kemudian Palembang. Di kota besar, ia menjalani hidup keras, pernah menjadi sopir angkot dan juga menjual bumbu dapur serta ikan asin. Pengalaman di jalanan inilah yang secara tak langsung menempanya dalam hal kerja keras, kedisiplinan, dan kemampuan beradaptasi.

Baca Juga: Cerita Sukyatno Nugroho Membangun Es Teler 77, Tamatan SMP yang Sukses Jadi Inspirator Bisnis Waralaba di Indonesia

Titik balik dalam hidup Prajogo terjadi saat ia bertemu dengan para pengusaha besar yang melihat potensi dalam dirinya. Ia bergabung dengan perusahaan kayu milik Burhan Uray, Djajanti Group, pada tahun 1970. Beberapa sumber juga menyebut ia mendapat kesempatan dari Soegiarto Adikoesoemo untuk bekerja di PT Djajanti Timber Group, salah satu pemain besar di industri kehutanan.

Pada 1976, ia menjabat sebagai General Manager PT Nusantara. Namun, satu tahun kemudian, Prajogo memberanikan diri untuk mandiri. Dengan pinjaman dari Bank BRI, ia mengambil alih CV Pacific Lumber Coy, perusahaan kayu kecil yang tengah mengalami kesulitan keuangan. Dari sinilah cikal bakal Barito Pacific Timber dimulai.

Didirikan pada 1977, Barito Pacific Timber fokus pada industri pengolahan dan ekspor hasil hutan. Dengan kepiawaiannya dalam membaca pasar dan membangun jaringan, perusahaan ini tumbuh pesat dan menjadi salah satu perusahaan kayu terbesar di Indonesia. Pada 1993, Barito Pacific resmi tercatat di Bursa Efek Jakarta, menjadi simbol keberhasilan bisnis Prajogo.

Baca Juga: Awal Cerita Kesuksesan CEO BYD, Beli Perusahaan yang Mau Dilikuidasi

Tak berhenti di sektor kayu, Prajogo melakukan diversifikasi bisnis yang ambisius. Pada 2007, perusahaannya berganti nama menjadi Barito Pacific, seiring akuisisi terhadap PT Chandra Asri, perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia. Melalui langkah ini, Barito Pacific memperluas sayap ke sektor industri strategis dengan teknologi berstandar internasional.

Visi bisnis Prajogo tak hanya berorientasi pada keuntungan, tapi juga berkelanjutan. Pada 2018, ia memperluas portofolio bisnisnya ke sektor energi terbarukan dengan mengakuisisi Star Energy, perusahaan panas bumi terbesar di Asia. Lewat anak usahanya Barito Renewables Energy, ia mendukung transisi energi Indonesia dari fosil menuju energi bersih. Ini bukan hanya langkah bisnis, tapi juga kontribusi nyata terhadap masa depan lingkungan dan ketahanan energi nasional.

Kesuksesan demi kesuksesan menempatkan Prajogo Pangestu sebagai salah satu tokoh bisnis paling berpengaruh di Asia Tenggara. Menurut Forbes, pada Januari 2025, kekayaan bersihnya mencapai USD 46,5 miliar, menjadikannya orang terkaya di Indonesia dan menempatkannya di posisi ke-31 orang terkaya di dunia. Bahkan pada September 2024, angka kekayaannya sempat tercatat mencapai USD 79,5 miliar atau sekitar Rp1.265 triliun.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: