Menimbang Perlunya Kehadiran Pemerintah untuk Jaga Keberlanjutan Industri Media Nasional
Kredit Foto: Istimewa
Pemerintah menegaskan komitmennya untuk mendukung keberlanjutan industri media nasional tanpa mengorbankan kebebasan pers. Wakli Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan jurnalistik, melainkan untuk memperkuat ekosistem media yang adil dan berkelanjutan.
Pernyataan ini disampaikan Nezar dalam Forum Pemred (FP) Talks bertajuk “RUU Penyiaran: Peran Negara Menjamin Keadilan Ekosistem Media” pada Kamis (19/6) di Antara Heritage Center, Jakarta.
Turut hadir dalam forum tersebut sebagai pembicara, antara lain anggota Komisi I DPR Nurul Arifin, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Utama Kementerian Hukum Onnie Rosleini, Komisioner KPI Pusat I Made Sunarsa, serta akademisi dan pemerhati media Ignatius Haryanto.
Nezar mengatakan, “Revisi undang-undang penyiaran, lagi dibahas di DPR, dan kita berharap pembahasannya juga bisa cepat, dan merangkum persoalan-persoalan yang sedang dialami oleh industri media sekarang ini.”
Sementara itu, Nurul Arifin menekankan bahwa proses legislasi RUU Penyiaran masih terbuka bagi masukan publik. “Kami di DPR ingin mendengarkan semua pandangan, terutama dari komunitas pers dan media, agar regulasi ini bisa adil, akuntabel, dan tidak represif,” jelasnya.
Nurul juga menyoroti perlunya regulasi yang mengakomodasi perkembangan konten digital seperti layanan over-the-top (OTT) termasuk Netflix, YouTube, dan TikTok.
Baca Juga: Komdigi Pacu Investasi Digital Lewat Kemitraan Global
“Jadi kita ingin supaya ini cepat terealisasi undang-undangnya cepat selesai, dan masih ada PR oleh karena itu kami akan sesegera mungkin mengundang platform digital yang besar, seperti Youtube, Netflix, dan TikTok, supaya kita menemukan satu kesepakatan, dan ini bisa dimasukkan juga ke dalam rancangan undang-undang penyiaran,” katanya.
Onnie Rosleini dari Kementerian Hukum menekankan pentingnya definisi yang jelas dalam RUU Penyiaran untuk menghindari tumpang tindih dengan Undang-Undang ITE.
Sementara itu, Komisioner KPI I Made Sunarsa menjelaskan bahwa lembaganya hanya berwenang mengawasi lembaga penyiaran konvensional, bukan platform digital seperti YouTube atau podcast. “KPI tidak punya kewenangan mengatur konten digital seperti YouTube. Jadi perlu kehati-hatian dalam menentukan batas pengawasan,” ujarnya.
Ignatius Haryanto mengingatkan agar revisi UU Penyiaran tidak mengancam jurnalisme investigatif. Ia menegaskan bahwa karya jurnalistik yang mematuhi kode etik dan verifikasi fakta tidak boleh dikriminalisasi.
Ketua Forum Pemred Retno Pinasti dalam sambutannya menyatakan bahwa FP Talks digelar untuk mencari solusi keberlanjutan industri media di tengah tantangan yang dihadapi perusahaan media.
"Ada dua hal utama yang ingin Forum Pemred sampaikan dalam diskusi ini yang mungkin juga berkaitan dengan penyiaran. Pertama, dukungan dari pemerintah untuk media sangat penting. Industri media dan pers di Indonesia memerlukan dukungan yang setara dengan industri strategis lainnya. Kebijakan yang berpihak sangat diperlukan agar industri ini dapat bersaing, memiliki independensi, dan menjaga kualitas," tegas Retno.
Ia menambahkan, "Kedua, penting untuk membangun tujuan aturan bersama bagi industri media. Tujuan ini adalah untuk menciptakan keadilan dan equal playing field, serta menciptakan ruang publik yang beradab, beretika, dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia."
Beberapa pekan sebelumnya, Forum Pemred telah melakukan audiensi dengan Kementerian Hukum dan langsung berdialog bersama Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Dalam pertemuan tersebut, Forum Pemred memberikan beberapa usulan agar bisa diakomodasi di rancangan UU Penyiaran yang tengah dibahas.
Baca Juga: Komdigi Undang Perusahaan Teknologi Global Dirikan Pusat Riset di Indonesia
Beberapa usulan tersebut di antaranya, pertama, media massaa nasional perlu dukungan negara sebagaimana industri strategis lainnya (tekstil, pertanian), contohnya seperti dukungan saat Covid-19. Dukungan diberikan kepada media yang memenuhi kepatuhan hukum, etik, dan standar konten. Selain itu juga perlu mengatur subyek hukum pada platform media sosial, seperti YouTube, TikTok, Instagram, Facebook, X.
Usulan kedua, adalah perlu diselaraskan visi antara organisasi media, komunitas jurnalis, dan regulator. Tujuannya menciptakan level playing field dengan platform digital (YouTube, TikTok, dsb). Salah satunya regulasi terhadap algoritma yang memengaruhi distribusi konten dan opini publik.
Sedangkan ketiga, yaitu awak media harus beradaptasi secara aktif terhadap perkembangan teknologi, termasuk AI. Media bukan hanya pengguna AI, tetapi bagian dari supply chain ekosistem AI.
Usulan keempat adalah soal platform digital yang wajib tunduk pada UU Pers dan UU Penyiaran demi melindungi ruang publik digital dari konten ilegal. Merujuk pada ketentuan dalam UU Pers dan UU Penyiaran, konten ilegal yang dimaksud adalah ujaran kebencian, SARA, kekerasan, pornografi, fitnah, pelanggaran hak cipta.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement