Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Rencana kebijakan satu harga LPG 3 kg yang akan diterapkan mulai 2026 dinilai berpotensi menimbulkan blunder baru di sektor energi. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai kebijakan tersebut tidak akan membuat subsidi LPG lebih tepat sasaran dan justru berisiko memperbesar beban negara.
“Siapa pun, termasuk orang kaya, masih bisa membeli LPG subsidi. Jadi, kebijakan ini tidak otomatis membuat subsidi lebih tepat sasaran,” ujar Fahmy, pada Warta Ekonomi Rabu (3/7/2025).
Pemerintah, melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, berencana menerapkan kebijakan satu harga LPG 3 kg demi menekan disparitas harga dan memperbaiki distribusi subsidi.
Baca Juga: Harga LPG 3 KG Bakal Sama di Seluruh Indonesia, Bagaimana Caranya?
Namun, rencana tersebut justru akan membuat subsidi bengkak akibat biaya transportasi ke wilayah-wilayah terpencil yang harus ditanggung negara.
Fahmy membandingkan kebijakan tersebut dengan program satu harga BBM, yang berhasil diterapkan karena seluruh distribusinya dikendalikan lewat SPBU Pertamina. Sedangkan distribusi LPG 3 kg dilakukan melalui agen, pangkalan, dan ribuan pengecer kecil yang tidak bisa dikontrol secara penuh.
“Pengecer adalah pengusaha akar rumput yang menjual LPG dengan margin wajar karena menanggung ongkos kirim. Jika dipaksakan satu harga, mereka akan terpukul. Konsumen pun tetap memilih pengecer karena lebih praktis meski harganya lebih tinggi,” ujarnya.
Fahmy mengatakan, kebijakan larangan pengecer LPG 3 kg sebelumnya pernah dicoba, namun justru menimbulkan antrean panjang di pangkalan dan akhirnya dibatalkan Presiden Prabowo.
“Kalau Bahlil tetap nekat, besar kemungkinan kebijakan satu harga LPG 3 kg ini juga akan dianulir Presiden, dan itu akan semakin menjatuhkan reputasinya sebagai Menteri ESDM,” tegas Fahmy.
Baca Juga: Distribusi LPG 3 Kg Capai 3,49 Juta Ton, Pemerintah Perketat Pengawasan
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan volume subsidi LPG tabung 3 kilogram diusulkan sebesar 8,31 juta metrik ton (MTon) pada tahun 2026, meningkat dari proyeksi APBN 2025 yang mencapai 8,17 juta MTon.
Skema subsidi untuk LPG masih akan mengacu pada mekanisme selisih harga, namun pemerintah tengah mengevaluasi agar penyaluran subsidi lebih tepat sasaran.
“Untuk LPG, Perpres-nya sedang kami bahas. Kita akan mengubah beberapa metode agar kebocoran tidak terjadi. Termasuk soal harga yang selama ini berbeda-beda di daerah, ke depan kemungkinan akan ditetapkan satu harga nasional. Ini penting karena negara mengeluarkan anggaran yang besar, mencapai Rp80–87 triliun per tahun untuk subsidi LPG,” tutup Bahlil.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Advertisement