Kredit Foto: Unsplash/Volkan Olmez
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menegaskan praktik Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP), termasuk yang bersifat simbolis atau sunat perempuan termasuk dalam kekerasan.
Sehingga bersama UNICEF, Kemen PPPA terus memperkuat komitmen dalam melindungi anak perempuan dari praktik berbahaya tersebut.
Baca Juga: Menteri PPPA Ungkap 40% Anak Pernah Alami Kekerasan di Medsos
Melalui Diskusi Survey Capacity Assessment PUSPAGA untuk Penyusunan Pedoman Teknis Layanan PUSPAGA untuk P2GP yang digelar pada Juni 2025, Kemen PPPA dan para mitra membahas langkah awal penyusunan modul edukasi untuk memperkuat peran PUSPAGA dalam upaya pencegahan P2GP.
Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 100 peserta secara hybrid dari berbagai unsur, termasuk kementerian/lembaga, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga masyarakat, dan pengelola PUSPAGA dari berbagai daerah. Diskusi ini menekankan pentingnya pendekatan edukatif, sistem rujukan yang kuat, narasi publik yang tepat, dan berperspektif perlindungan anak.
“P2GP adalah bentuk kekerasan terhadap anak perempuan yang tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apapun, termasuk praktik simbolis yang kerap dianggap ringan,” tegas Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II, Kemen PPPA, Eko Novi Ariyanti, dikutip dari siaran pers Kementerian PPPA, Rabu (9/7).
Ia menekankan PUSPAGA memiliki posisi strategis sebagai layanan berbasis keluarga yang mampu memberikan edukasi langsung, deteksi dini, dan merujuk kasus ke UPTD PPA.
Para narasumber, termasuk dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan PUSPAGA Kabupaten Bogor mengungkapkan praktik P2GP, terutama yang bersifat simbolis masih marak terjadi di masyarakat. Hal ini disebabkan pengaruh tradisi dan kurangnya informasi yang benar, bahkan di kalangan tenaga kesehatan dan kader. “Sejak 2013, kurikulum kebidanan tidak lagi mengajarkan praktik P2GP. Bidan harus berani menolak karena tidak ada dasar hukum maupun manfaat kesehatannya,” ujar fasilitator P2GP dari IBI, Suci Maysaroh.
Senada dengan itu, Telly Yuviarly dari PUSPAGA Kabupaten Bogor menyampaikan PUSPAGA mereka telah secara aktif menyisipkan edukasi tentang bahaya P2GP ke dalam sesi pengasuhan positif dan kesehatan reproduksi. Namun, tantangan di lapangan masih besar. “Banyak kader belum mengetahui sunat perempuan, meskipun hanya simbolis, tetap dilarang. Dibutuhkan edukasi yang konsisten dan kontekstual,” ujarnya.
Diskusi juga menekankan pentingnya sistem rujukan yang jelas bagi tenaga kesehatan yang menolak praktik P2GP. Pendekatan edukatif dianggap lebih efektif dibanding pendekatan hukum yang justru dapat membuat masyarakat enggan melapor. “Jika pendekatannya terlalu keras, masyarakat bisa menjauh. Edukasi berbasis komunitas adalah kunci,” ujar Eko Novi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Advertisement