Kredit Foto: Lestari Ningsih
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan potensi penurunan permintaan dari mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan China, Indonesia mulai menyusun strategi diversifikasi ekspor ke kawasan Eropa.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, menilai langkah pemerintah dalam memperluas pasar ekspor ke Eropa merupakan bagian penting dari mitigasi risiko perdagangan.
“Ekspor Indonesia ke Amerika memang cukup besar, meski masih di bawah China. Tapi jika permintaan dari AS menurun, diversifikasi ke Eropa bisa menjadi solusi,” kata Rully, Selasa (15/7/2025).
Saat ini, China masih menjadi negara tujuan ekspor utama Indonesia, diikuti oleh Amerika Serikat, Jepang, dan India. Kawasan Uni Eropa menempati posisi berikutnya, menunjukkan masih terbuka ruang peningkatan volume perdagangan dengan negara-negara Eropa.
Baca Juga: Perundingan Kemitraan Ekonomi RI-Uni Eropa Capai Kesepakatan Penting
Rully menilai bahwa peluang ekspor ke pasar Eropa cukup besar, namun memerlukan pendekatan yang berbeda dari pasar Amerika. “Eropa punya karakteristik permintaan yang berbeda. Kalau AS banyak mengimpor produk padat karya seperti tekstil, sepatu, atau elektronik, maka Eropa lebih condong ke komoditas mentah seperti minyak sawit (CPO),” jelasnya.
Meski potensial, strategi ini juga menghadapi sejumlah tantangan, seperti hambatan non-tarif dan isu lingkungan yang kerap menjadi kendala bagi produk ekspor Indonesia ke Eropa. Untuk itu, Rully menekankan pentingnya diplomasi dagang agar hambatan tersebut bisa dikurangi.
Baca Juga: Bursa Eropa Turun Tipis, Brussel Suarakan Rasa Frustrasi Soal Negosiasi Tarif AS
“Perlu waktu untuk membangun akses pasar yang kuat di Eropa. Kita bicara tahun, bukan bulan. Tapi ini langkah strategis yang patut didorong agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu atau dua negara saja,” tambahnya.
Ia juga mendorong pemerintah dan pelaku usaha untuk lebih aktif menjajaki pasar-pasar nontradisional di Eropa. Selain memperkuat hubungan dengan negara seperti Belanda yang memiliki sejarah dagang panjang dengan Indonesia, negara-negara Eropa lainnya dinilai belum tergarap optimal.
“Pemerintah dan pelaku usaha harus lebih proaktif. Eropa itu potensial, tapi butuh pendekatan khusus dan kesabaran. Kalau dijalankan serius, hasilnya bisa signifikan dalam jangka menengah hingga panjang,” pungkas Rully.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement