Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti lambatnya investasi swasta dalam mendukung akselerasi Energi Baru Terbarukan (EBT) di tanah air.
Dalam catatan IESR, untuk mengimplementasikan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah dan PLN membutuhkan dana senilai Rp 1.682,4 triliun, dengan porsi swasta memegang 80% dari total pendanaan.
CEO IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan minat investasi swasta untuk mendukung implementasi RUPTL tidak terlalu baik, berkaca pada realisasi RUPTL sebelumnya. Kelayakan finansial dan proyek yang bankable menjadi faktor rendahnya minat investor.
Baca Juga: IESR: Indonesia Harus Bangun Industri PLTS Terintegrasi
Akibatnya, hingga tahun 2024 bauran energi terbarukan baru mencapai 15,37% dan masih terlampau jauh bila dihubungkan dengan target bauran EBT sebelumnya yang mencapai 25%.
Faktor-faktor ini dipengaruhi kondisi finansial PLN di mana tarif tenaga listrik yang ditetapkan pemerintah tidak mencerminkan pengembalian biaya (cost recovery) yang sesungguhnya dan margin yang wajar bagi PLN.
Sampai saat ini kemampuan pengadaan pembangkit energi terbarukan dari PLN masih di bawah 1 GW. Tarif listrik dan mekanisme pengadaan yang ketinggalan zaman (obsolete) membuat kinerja pengadaan PLN rendah. Akibatnya tingkat kesuksesan pengadaan pembangkit di bawah 30% dari yang direncanakan.
Oleh karena itu, IESR mendorong RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dan RUU Ketenagalistrikan dapat menjawab tantangan transisi energi Indonesia dan menjadi payung hukum efektif untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan.
Baca Juga: IESR Desak Prabowo-Gibran Segera Rancang Strategi Transportasi Rendah Emisi
"Daya saing investasi kita ditentukan oleh kemudahan investor mendapatkan akses energi terbarukan. Ini perlu dimengerti oleh pemerintah dan DPR,” kata Fabby Tumiwa saat beraudiensi dengan Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno di Nusantara III, Gedung DPR/MPR pada hari Senin (11/8/2025).
Berkaca ke negeri jiran, Malaysia dan Vietnam membuka akses jaringan listriknya dan memungkinkan investor membeli langsung listrik dari pengembang energi terbarukan. Mereka menggunakan mekanisme power wheeling atau Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) dan direct power purchase agreement.
Untuk itu, IESR mendorong penerapan mekanisme PBJ dan restrukturisasi pada industri dan pasar sistem ketenagalistrikan yang tetap selaras dengan UUD 1945 pada kedua RUU tersebut. IESR memandang meski percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia memerlukan investasi besar dan partisipasi swasta, namun kendali negara atas penyediaan listrik untuk kepentingan umum harus tetap terjaga.
Baca Juga: Target 23% Bauran EBT 2025 Masih Jauh, Realisasi Baru 14,5%
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo mengatakan studi IESR menemukan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 333 GW yang layak secara ekonomi, berdasarkan aturan tarif Perpres 112/2022 dan struktur pembiayaan proyek (project financing) yang umum dipakai di Indonesia.
Potensi tersebut terdiri dari kapasitas PLTS ground-mounted sebesar 165,9 GW, PLTB onshore sebesar 167,0 GW dan PLTM sebesar 0,7 GW. Tidak hanya itu, IESR juga menemukan tiga pulau di Indonesia yaitu Bali, Sumbawa, dan Timor berpotensi untuk sepenuhnya dialiri oleh 100 persen energi terbarukan pada 2050.
“Pemerintah perlu memastikan mekanisme PBJT diatur dan berjalan, agar menjadi pendapatan tambahan bagi PLN dan mencapai target pengambangan energi terbarukan sesuai RUPTL dan visi RUKN,” jelas Deon.
Dengan keterbatasan ruang fiskal, dan tanggung jawab yang sangat besar pada PLN sebagai penyedia layanan publik, maka perlu ada perubahan dalam struktur pasar ketenagalistrikan Indonesia, termasuk di dalam tubuh PLN untuk memungkinkan terbukanya peluang usaha baru seperti layanan penyeimbang (balancing) atau pendukung (ancillary services).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement