Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bauran EBT Jauh dari Target 2025: IESR Soroti Tiga Hambatan Struktural

Bauran EBT Jauh dari Target 2025: IESR Soroti Tiga Hambatan Struktural Kredit Foto: PLN
Warta Ekonomi, Jakarta -

Capaian bauran energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia diproyeksikan masih jauh dari target ambisius nasional. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM tercatat, hingga semester pertama 2025, kontribusi EBT dalam bauran energi baru mencapai 16,32%. 

Angka ini mempertegas lambannya pengembangan energi bersih di Indonesia, mengingat target 19% yang ditetapkan tahun 2025 pun sebetulnya telah diturunkan dari target awal 23%.

Koordinator Transisi Sistem Tenaga Listrik IESR, Dwi Cahya Agung, menilai, kesenjangan serius ini diakibatkan oleh hambatan struktural yang belum terselesaikan. Setidaknya, terdapat tiga persoalan fundamental yang menjadi kendala utama akselerasi pengembangan EBT di Tanah Air, mencakup aspek perencanaan suplai, regulasi, dan proses pengadaan.

Terhambat Dominasi Fosil dan Oversupply

Dwi Cahya Agung menyoroti masifnya proyek berbasis fosil, terutama batu bara, yang masih dalam pipeline konstruksi.

Baca Juga: Indonesia Phase Down Fosil, Pemain Industri Sepakat Gaspol EBT 

Kondisi ini secara langsung mengurangi ruang integrasi bagi pembangkit EBT ke dalam sistem kelistrikan. Menurut IESR, hal ini terjadi akibat ketidaksesuaian antara proyeksi permintaan dengan perencanaan penyediaan suplai tenaga listrik.

"Pada periode 2019-2024, proyeksi permintaan yang diharapkan menjadi driver pertumbuhan ekonomi tidak terjadi. Namun, pemerintah telanjur optimis membangun pembangkit listrik, terutama yang berorientasi pada batu bara," kata Dwi kepada Wart Ekonomi, Senin 15/12/2025).

Akibat pembangunan yang optimistis, sementara permintaan tidak sesuai harapan, kapasitas pembangkit batu bara meningkat dan menimbulkan oversupply atau kelebihan pasokan listrik. Kelebihan pasokan ini menjadi penghalang signifikan bagi masuknya energi terbarukan, karena sistem kelistrikan cenderung memprioritaskan pembangkit yang sudah terpasang.

Inkonsistensi Regulasi dan Ketiadaan Evaluasi

Selain dominasi fosil, IESR mencermati inkonsistensi regulasi yang menciptakan ketidakpastian dan cenderung memproteksi status quo energi fosil. Meskipun serangkaian kebijakan telah diterbitkan, seperti Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM 2/2024 tentang PLTS Atap, laju pengembangan EBT tetap berjalan sangat lambat.

Baca Juga: Bauran EBT RI Baru 16,32% di 2025, Jauh dari Target Nasional

Dwi menggarisbawahi bahwa persoalan utama terletak pada tidak adanya mekanisme evaluasi dan monitoring yang jelas, transparan, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

"Pada akhirnya, kebijakan hanya terbit tanpa memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan energi terbarukan karena tidak menyelesaikan akar masalah dari terhambatnya pengembangan EBT," tegas Dwi.

Proses Pengadaan Belum Berpihak

Terakhir, IESR menyoroti proses pengadaan energi terbarukan yang dinilai belum berpihak. Proses pengadaan masih terganjal perizinan yang rumit, proses akuisisi lahan yang tumpang tindih, serta tidak adanya kerangka waktu yang jelas dan transparansi dari sisi PT PLN (Persero).

Faktor-faktor ini, menurut Dwi, menyebabkan hingga saat ini belum ada pengadaan EBT berskala besar yang berhasil dilaksanakan melalui proses yang baik dan transparan. 

Baca Juga: Go Global! Bumilangit Gandeng HB Entertainment Korea, Webtoon Virgo and the Sparklings Diadaptasi Jadi K-Drama

Bahkan, keberhasilan proyek besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata dinilai IESR terjadi bukan karena proses pengadaan yang ideal, melainkan lebih disebabkan oleh pendekatan bilateral dan dimasukkan sebagai bagian dari program strategis nasional.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: