- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
PLTU Terbesar Australia Ditunda Pensiun, IESR: Jadi Alarm bagi Transisi Energi Indonesia
Kredit Foto: Istimewa
Keputusan Pemerintah New South Wales (NSW), Australia, untuk menunda penutupan Eraring Coal Power Plant, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara terbesar di negara bagian tersebut, dinilai menjadi alarm penting bagi Indonesia dalam menyiapkan transisi energi yang terukur dan konsisten.
Semula Eraring dijadwalkan berhenti beroperasi pada Agustus 2025, namun pemerintah NSW menyetujui perpanjangan hingga 2027 dan bahkan berpotensi sampai 2029. Langkah ini diambil untuk menghindari risiko blackout dan lonjakan harga listrik, menyusul keterlambatan pembangunan pembangkit energi terbarukan serta battery energy storage yang seharusnya menggantikan kapasitas Eraring.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai kasus ini bisa menjadi pelajaran penting.
“Kasus ini bisa jadi pelajaran bagi banyak negara, khususnya Indonesia, bahwa transisi energi harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dengan perspektif jangka panjang,” ujarnya pada Warta Ekonomi dikutip Kamis (4/9/2025).
Baca Juga: Hindari Blackout, Australia Tunda Pensiunkan PLTU Terbesarnya
Fabby menegaskan ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan pendukungnya harus dieksekusi tepat waktu agar pasokan listrik tidak terganggu saat PLTU berhenti beroperasi. Kedua, penundaan transisi menimbulkan beban biaya.
“Dalam kasus Eraring, PLTU ini menerima subsidi karena operasinya sub-optimal, dan pemerintah serta konsumen kehilangan kesempatan mendapatkan harga listrik lebih murah dari energi terbarukan,” jelasnya.
Ketiga, ia menyoroti kebijakan subsidi energi di Indonesia. “Kebijakan subsidi energi primer, khususnya batubara dan gas untuk PLN, membuat perencanaan kelistrikan kita tidak pro energi terbarukan. Akibatnya PLN kehilangan kesempatan menurunkan biaya produksi tenaga listrik secara struktural melalui perubahan bauran energi primer,” tegasnya.
Baca Juga: KKP Terbitkan ALSE, PLTU Batang Dapat Izin Pemanfaatan Air Laut
Peringatan ini relevan dengan arah kebijakan nasional melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, yang menargetkan porsi energi baru terbarukan (EBT) mencapai lebih dari 75 gigawatt kapasitas terpasang dalam sepuluh tahun mendatang. RUPTL terbaru juga diarahkan untuk lebih “hijau” dibanding edisi sebelumnya, dengan penambahan pembangkit EBT yang lebih masif serta pengurangan ketergantungan pada PLTU batu bara.
Namun, menurut IESR, target tersebut hanya bisa tercapai bila proyek pembangkit EBT dan jaringan pendukungnya dibangun tepat waktu. Tanpa kesiapan, Indonesia bisa menghadapi dilema serupa Australia: memperpanjang umur PLTU demi mengamankan pasokan, yang justru membebani keuangan negara dan menghambat pencapaian Net Zero Emission 2060.
“Indonesia harus memastikan transisi energi tidak hanya ambisius di atas kertas, tetapi konsisten dalam pelaksanaan. Kalau tidak, kita akan kehilangan momentum dan terus membayar mahal karena ketergantungan pada batu bara,” pungkas Fabby.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Advertisement