Lewat CHANDI 2025, Hashim Djojohadikusumo Dorong Pemerintah Berinvestasi dalam Penguatan Budaya
Kredit Foto: Istimewa
Angklung, menurutnya, bukan hanya sekadar instrumen tradisional Jawa Barat, tetapi juga sebuah tradisi musik yang kaya, berkembang di Asia Tenggara, serta mengandung sejarah, kebijaksanaan lokal, dan nilai-nilai universal. Berkat upaya pemerintah dan akademisi Indonesia, angklung kini telah mendunia.
“Sebagai warisan budaya dan instrumen yang mudah dipelajari, angklung memiliki potensi besar untuk membuat seluruh dunia menjadi saling terhubung,” jelas He Lu. Filosofi angklung, di mana setiap orang memegang satu tabung nada, tetapi harus berkolaborasi agar menghasilkan harmoni, mencerminkan semangat kebersamaan, kerja sama, dan saling memiliki.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Ubud Writers & Readers Festival, Janet DeNeefe, menyampaikan kisah perjalanan panjang festival sastra terbesar di Asia Tenggara ini.
Ia menuturkan bahwa Ubud Writers & Readers Festival lahir dari sebuah misi pemulihan pasca-tragedi bom Bali tahun 2002. Pertama kali digelar pada 2004, festival ini hadir untuk menghidupkan kembali pariwisata dan perekonomian Bali melalui kekuatan budaya.
Seiring perkembangan, festival ini tidak hanya menjadi ruang temu penulis dan pembaca di Ubud, tetapi juga meluas ke berbagai wilayah Indonesia. Inisiatif ini bertujuan memperkenalkan kekayaan literasi Nusantara di luar Bali dengan melibatkan penulis muda dan komunitas lokal.
Sejak 2008, Ubud Writers & Readers Festival juga menghadirkan Program Penulis Baru untuk memberi panggung bagi generasi muda yang sebelumnya kurang terdengar di antara penulis-penulis besar.
Panelis keempat adalah Conservator of the Southeast Asian collections at Musée Guimet, Prancis, Evelise Bruneau. Dalam paparannya, Evelise memandang museum yang saat ini berkembang sebagai tempat artistik untuk menarik generasi masa kini.
Dalam pandangan Evelise, museum yang dikenal sebagai tempat sejarah ini bisa diubah menjadi bentuk artistik tanpa mengesampingkan nilai historisnya. “Singkatnya saat ini saya ingin museum tak hanya menjadi tempat melestarikan benda berwujud, karena saya merasa semua itu bermakna dan ingin menyampaikan kepada semua generasi mendatang,” ujarnya.
Evelise lebih lanjut menjelaskan bahwa warisan budaya bisa menjadi agenda tersendiri dalam pembangunan berkelanjutan. Namun, Evelise memperingatkan akan adanya ancaman warisan budaya terhadap sejumlah isu seperti perdagangan gelap hingga radikalisme yang mungkin bisa mengganggu jalannya budaya lintas negara.
“Kita harus menjaga pikiran dan hati kita untuk tetap terbuka terhadap dialog, karena dialog akan memunculkan kreativitas di antara seniman, industri, dan sebagainya. Dialog memungkinkan munculnya pemahaman serta rasa hormat,” tutup Evelin.
Sesi pleno ini dihadiri oleh Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon; Wakil Menteri Kebudayaan RI, Giring Ganesha; para Menteri dan Wakil Menteri negara sahabat; para Duta Besar negara sahabat, para perwakilan organisasi internasional, para ketua delegasi, dan tamu undangan lainnya.
Diskusi pleno ini menegaskan kembali bahwa warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber inspirasi yang dapat memperkuat identitas sekaligus mendorong lahirnya inovasi.
Melalui dialog lintas bangsa, lintas disiplin, dan lintas generasi, CHANDI 2025 menjadi ruang strategis untuk merajut pemahaman, kerja sama, dan solidaritas global dalam menjaga kebudayaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement