Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Krisis Legitimasi Fiskal dan Ketimpangan Ekonomi Picu Gelombang Protes

Krisis Legitimasi Fiskal dan Ketimpangan Ekonomi Picu Gelombang Protes Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia belakangan ini dinilai bukan sekadar reaksi spontan, melainkan cerminan dari krisis legitimasi fiskal dan ketimpangan ekonomi yang semakin melebar.

Hal itu disampaikan Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, dalam media briefing, dikutip Sabtu (6/9/2025).

“Protes-protes ini merupakan akumulasi keresahan atas kesulitan hidup yang kian mencekik dan kekecewaan atas negara yang semakin abai. Akar masalahnya adalah krisis kepercayaan kepada pemerintah akibat runtuhnya legitimasi fiskal,” kata Deni.

Ia menjelaskan, kontrak sosial antara rakyat dan negara melalui pajak mengalami erosi. Masyarakat diminta menanggung beban pajak dan iuran, namun di saat yang sama melihat pemerintah melakukan pemborosan, menambah kementerian dan lembaga, serta menaikkan gaji pejabat dan anggota DPR.

Baca Juga: Sektor Jasa Keuangan Stabil, Ojk Minta Akses Pembiayaan Dipermudah Bagi Masyarakat Terdampak Demonstrasi

Kontradiksi ini, menurut Deni, memperdalam jurang ketidakpercayaan publik.

“Rakyat bersedia membayar pajak ketika yakin negara memberikan timbal balik berupa pelayanan publik, stabilitas, dan keadilan. Namun rasa keadilan itu kini semakin memudar,” ujarnya.

Selain krisis legitimasi fiskal, Deni menyoroti ketimpangan ekonomi yang makin nyata. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil di kisaran 5 persen, distribusinya timpang. Indeks Gini masih bertahan di level 0,39, menandakan kesenjangan yang tinggi.

“Kemiskinan memang turun secara persentase, tetapi kelas menengah juga menyusut. Sebagian besar masyarakat hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan, sehingga guncangan kecil seperti inflasi dapat menjatuhkan mereka kembali ke jurang kemiskinan,” jelasnya.

Situasi diperburuk dengan lonjakan harga pangan yang terus berulang. Harga beras, misalnya, kini berkisar Rp14.000–Rp18.000 per kilogram, jauh di atas daya beli banyak keluarga.

Baca Juga: Gelar Diskusi Soal Dinamika Demokrasi dalam Negeri, Forum Warga Negara: Jangan Lewatkan Momentum Berbenah

“Klaim pemerintah soal stok beras yang aman dan produksi yang meningkat terasa kontradiktif dengan realitas di pasar,” kata Deni.

Menurutnya, krisis legitimasi fiskal yang berkelindan dengan ketimpangan ekonomi dan beban hidup rakyat bisa memicu risiko lebih besar bagi stabilitas nasional. Ia mengingatkan sejarah krisis 1997–1998 sebagai pelajaran penting.

“Jika akar permasalahan ini dibiarkan, risiko krisis ekonomi, delegitimasi negara, dan degradasi demokrasi akan meningkat,” tegasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: