Kredit Foto: Uswah Hasanah
Pemerintah dinilai gagal menjaga rasa keadilan dalam pengelolaan anggaran negara. Di tengah beban hidup yang kian berat, rakyat justru dihadapkan pada kenaikan pajak dan iuran, sementara belanja pemerintah dinilai boros dan tidak berpihak.
Hal itu disampaikan Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, dalam media briefing, dikutip Sabtu (6/9/2025).
“Permasalahannya bukan hanya kenaikan pajak yang terasa menyesakkan, tetapi juga arah belanja negara yang ironis justru menambah luka. Belanja bantuan dan perlindungan sosial terus mengecil, sementara program-program mahal yang tidak efektif tetap dijalankan,” ujar Deni.
Ia mencontohkan rencana kenaikan iuran BPJS di saat bersamaan dengan membengkaknya anggaran proyek prioritas pemerintah.
Baca Juga: Layanan Perbankan Stabil di Tengah Aksi Demonstrasi, OJK: Dampaknya Minim
“Misalnya, biaya program MDG naik dari Rp107 triliun menjadi Rp335 triliun dan menyedot 44 persen anggaran pendidikan. Anggaran pertahanan, keamanan, dan keterlibatan juga mencapai Rp565 triliun atau hampir 19 persen belanja pemerintah,” katanya.
Menurut Deni, transparansi dan akuntabilitas belanja negara masih dipertanyakan. Dana besar yang digelontorkan untuk pertahanan, misalnya, belum jelas apakah digunakan untuk meningkatkan profesionalitas institusi atau justru berpotensi menjadi alat represif terhadap rakyat.
Ia juga menyoroti kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR dari Rp5,9 triliun pada 2024 menjadi Rp9,9 triliun pada 2026.
“Satu anggota DPR bisa menguasai Rp1,4 miliar per bulan. Jika gaji pokoknya Rp100 juta, berarti ada sekitar Rp1,3 miliar untuk aktivitas lain. Angka ini mencerminkan pemborosan yang kontras dengan penderitaan rakyat,” tegas Deni.
Baca Juga: CSIS Peringatkan Risiko Krisis Multidimensional, Desak Pemerintah Bangun Ulang Kepercayaan Publik
Di sisi lain, transfer ke daerah justru dikurangi. Anggaran daerah pada APBN 2025 turun Rp50 triliun, dan tahun depan diperkirakan menyusut hingga 24 persen.
“Akibatnya pemerintah daerah terpaksa mencari pemasukan tambahan, salah satunya dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang tentu menambah beban masyarakat,” jelasnya.
Menurut Deni, kontradiksi dalam kebijakan belanja negara ini memperkuat krisis legitimasi fiskal.
“Rakyat diminta berkorban, tapi elit politik tampil arogan. Keadilan dan empati hilang, dan ini yang menyulut gelombang protes belakangan ini,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement