Industri Tembakau Terancam, Serikat Pekerja Minta Pemerintah Fokus pada Rokok Ilegal dan Kenaikan Cukai
Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Industri tembakau nasional kembali berada di titik kritis. Setelah sebelumnya terpukul oleh penurunan produksi di sejumlah pabrikan besar, kini sektor ini menghadapi ancaman serius berupa gelombang pengurangan tenaga kerja. Ribuan pekerja tembakau terancam kehilangan mata pencaharian akibat tekanan kebijakan fiskal, khususnya kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang terus diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyoroti kebijakan cukai yang dinilainya memberatkan industri padat karya ini. “Memang persoalan cukai (rokok) yang makin naik terus-menerus dan tinggi sekali itu yang memukul industri tembakau,” ungkapnya.
Menurut Said, ketidakseimbangan antara besaran kenaikan cukai membuat industri kesulitan bertahan, terlebih di tengah daya beli masyarakat yang masih lemah. “Perusahaan tidak kuat lagi bersaing di tengah daya beli masyarakat yang turun. Kecuali daya beli masyarakat juga stabil,” lanjutnya.
Baca Juga: Produksi Rokok dan Penerimaan Cukai Anjlok, Industri Tembakau Tertekan
Sebagai langkah penyelamatan, KSPI mengusulkan moratorium atau penundaan kenaikan tarif CHT selama tiga tahun ke depan. Langkah ini dinilai dapat memberikan ruang bagi industri untuk bertahan dan melakukan penyesuaian.
“Kalau moratorium selama tiga tahun benar-benar diterapkan tanpa ada kenaikan cukai rokok, setidaknya itu bisa memberi ruang bagi industri rokok untuk bertahan,” ujar Said.
Selain tekanan dari sisi fiskal, menjamurnya rokok ilegal juga memperburuk kondisi industri legal yang resmi. Said menilai praktik ini tidak hanya merugikan negara dari sisi penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat dan mengancam kesejahteraan pekerja.
“Kelompok industri tembakau yang tidak membayar cukai atau ilegal itu, mereka hanya mencari keuntungan buat pemilik saja kok. Itu kan unfair,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pabrik rokok ilegal cenderung lebih mudah melakukan pemutusan hubungan kerja dan tidak memberikan jaminan sosial kepada pekerjanya. “Semua industri yang tidak membayar pajak harus dikenakan sanksi tegas bahkan kalau perlu ditutup perusahaan itu. Karena tidak membayarkan kewajibannya kepada negara,” tambah Said.
Sebelumya, pemerintah sendiri telah menyatakan tidak akan menaikkan tarif pajak atau mengenakan pungutan pajak baru pada tahun 2026. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa optimalisasi penerimaan akan difokuskan pada perbaikan sistem kepatuhan administrasi.
Baca Juga: Desak Deregulasi PP 28/2024, Petani Tembakau Terancam Penyerapan Hasil Panen
“Menurut saya pribadi selama ini enggak usah (ada pungutan pajak baru). Dengan sistem yang ada pun, kalau pertumbuhannya bagus, anggap tax to GDP ratio-nya konstan, maka pendapatan negara juga meningkat,” jelas Menteri Keuangan pengganti Sri Mulyani ini.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.357,71 triliun—naik 13,51% dibandingkan tahun ini. Ini menunjukkan bahwa strategi fiskal akan lebih menekankan pada efisiensi dan penegakan hukum.
Dengan mempertimbangkan tekanan terhadap industri tembakau dan kebutuhan negara akan penerimaan, moratorium kenaikan cukai selama tiga tahun ke depan dan penindakan tegas terhadap rokok ilegal dinilai sebagai jalan tengah yang adil. Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga keberlangsungan industri padat karya sekaligus memastikan kontribusi fiskal tetap optimal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement