Kasus Keracunan Massal Anak Sekolah Picu Kritik pada MBG, Perlu Audit Menyeluruh pada Mata Rantai Kelalaian
Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Kasus dugaan keracunan makanan yang melibatkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menyita perhatian publik setelah sejumlah anak di berbagai daerah mengalami gejala seperti muntah dan diare usai menyantap makanan dari program pemerintah tersebut. Beredarnya video kejadian di media sosial mempercepat penyebaran informasi dan memicu reaksi keras dari masyarakat.
Alih-alih menjadi solusi untuk meningkatkan gizi anak sekolah, program MBG justru menuai kritik tajam. Banyak pihak mempertanyakan standar keamanan pangan dalam distribusi makanan gratis yang seharusnya memberikan manfaat, bukan malah membawa risiko kesehatan.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, memberikan tanggapan terhadap insiden ini. Ia menilai, penyebab pasti kasus ini tidak bisa disimpulkan hanya dari video yang viral di internet. Dibutuhkan pendekatan yang lebih mendalam melalui metode ilmiah.
"Dalam audit pangan, video tersebut hanya gejala visual, bukan bukti ilmiah. Pertanyaan mendasar adalah, racun apa yang bekerja, siapa yang lalai, dan bagaimana bisa satu menu menjatuhkan begitu banyak anak sekaligus?" kata Iskandar, Minggu (28/9/2025)
Melihat cepatnya gejala yang muncul dalam hitungan menit hingga beberapa jam setelah konsumsi, Iskandar menduga kuat adanya kontaminasi zat toksik dalam makanan tersebut.
Merujuk pada data epidemiologi, gejala muntah akut seperti yang dilaporkan sering kali dikaitkan dengan enterotoksin dari bakteri Staphylococcus aureus. Racun dari bakteri ini tergolong tahan terhadap panas, bahkan tidak hilang meski makanan dipanaskan ulang.
Alternatif lain, kata Iskandar, adalah kontaminasi Clostridium perfringens yang berkembang saat makanan disimpan terlalu lama di suhu ruang, dan biasanya menimbulkan gejala diare dalam 6 hingga 24 jam.
"Dari kronologi korban, terlihat onset cepat. Artinya, ini bukan sekadar ‘salah makan pedas’, melainkan paparan toksin yang serius,” ujarnya.
Menurutnya, investigasi menyeluruh harus segera dilakukan. Proses audit tidak hanya berfokus pada makanan, tetapi juga menyertakan data epidemiologis, uji laboratorium terhadap sampel makanan serta muntahan atau tinja korban, dan pemeriksaan operasional dapur MBG maupun SPPG (Sentra Produksi Pangan Gizi).
Ia mengingatkan bahwa tanpa hasil laboratorium yang valid, segala tuduhan hanya akan menjadi spekulasi. Racun yang mungkin menjadi penyebab, menurutnya, bisa berasal dari berbagai sumber, mulai dari mikroba, bahan kimia, minyak goreng rusak, pestisida, atau bahkan sisa pembersih alat masak.
“Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti. Tapi kita juga tidak boleh diam jika buktinya ada. Semua harus diuji, makanan, dapur, tenaga kerja, hingga manajemen logistik,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kasus ini tidak hanya soal sanitasi dapur yang buruk, tetapi juga berpotensi menjerat pihak-pihak tertentu ke ranah hukum. Jika dapur MBG terbukti tidak memenuhi ketentuan UU Pangan dan regulasi turunannya, izin operasionalnya bisa dicabut.
Dalam kondisi yang lebih serius, bila kelalaian terbukti menyebabkan korban luka atau meninggal dunia, maka pihak penyedia makanan dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 359–360 KUHP serta Pasal 14 UU Pangan. Ancaman hukumannya mencapai lima tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.
Baca Juga: Gerindra Akui Kasus Keracunan MBG Meningkat, Minta BGN Mengevaluasi Menyeluruh
“Pidana tidak hanya untuk vendor. Pejabat juga bisa dijerat jika lalai mengawasi, apalagi jika terbukti ada suap atau kontrak fiktif. Bisa kena pasal ‘turut serta’ dan bahkan Undang-Undang Tipikor,” tegas Iskandar.
Dari sisi anggaran negara, Iskandar menyebutkan bahwa biaya pengobatan korban yang ditanggung BPJS atau APBD merupakan kerugian negara. Oleh karena itu, pemerintah berhak menggugat pihak yang bertanggung jawab secara perdata menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata.
IAW mengidentifikasi struktur pengelolaan dapur MBG melibatkan tiga peran utama: manajer operasional, kepala dapur, dan koordinator logistik/quality control. Ketiganya memiliki peran krusial dan tidak boleh dijalankan sembarangan.
Manajer berwenang atas kontrak dan anggaran, kepala dapur wajib menjamin proses masak sesuai standar higienitas, sementara koordinator logistik memastikan distribusi berjalan dengan benar, termasuk suhu kendaraan dan waktu pengiriman.
“Kalau tidak ada catatan suhu, tidak ada log distribusi, tidak ada sertifikat hygiene, itu red flag. Polisi harus tahu siapa yang harus disasar dari struktur ini,” ujarnya.
Tanggung jawab dalam insiden ini, menurut Iskandar, tidak berhenti di dapur. Ia menyoroti pemasok bahan makanan, sekolah penerima, serta pejabat pengawas baik di pemerintah daerah maupun di BGN (Badan Gizi Nasional) sebagai bagian dari rantai kontrol.
Berdasarkan temuan IAW, makanan MBG kerap tidak disimpan di suhu aman, dikemas tanpa pendingin, bahkan diangkut dengan kendaraan tak layak yang menempuh perjalanan lama.
Iskandar menekankan pentingnya penyidik mengamankan bukti secepat mungkin, mulai dari sisa makanan, muntahan, log suhu distribusi, CCTV dapur, hingga dokumen kontrak.
“Kalau bukti hilang, CCTV mati, log suhu tidak ada, artinya ada yang sengaja menutupi. Itu justru jadi pintu masuk bagi polisi untuk mendalami lebih jauh,” kata Iskandar.
Untuk mencegah berulangnya kasus serupa, IAW meminta polisi segera menetapkan tersangka baik dari kalangan vendor maupun pejabat yang lalai. Pemerintah daerah juga didorong untuk memutus kontrak penyedia yang tidak layak, serta mewajibkan dapur MBG mengantongi sertifikat HACCP.
Selain itu, BGN diminta membangun database nasional vendor MBG, melakukan audit acak, dan menghubungkan data dengan BPJS agar bisa melacak biaya pengobatan akibat kasus keracunan.
Peran masyarakat dan orang tua siswa juga dianggap penting. Mereka disarankan untuk mencatat gejala yang muncul, menyimpan sisa makanan, dan jika perlu menggugat pihak yang bertanggung jawab melalui class action.
Baca Juga: MBG Diminta Tetap Berjalan dan Perbaiki Tata Kelola di Tengah Pro Kontra
“Kita tidak boleh diam. Kalau kasus ini dibiarkan, akan berulang. Efek jera hanya lahir jika ada hukuman nyata,” ujar Iskandar.
Ia menilai bahwa insiden ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan. Iskandar menolak jika kasus ini hanya dianggap sebagai "dugaan keracunan" tanpa langkah hukum dan perbaikan sistemik yang konkret.
Program MBG yang merupakan janji politik Presiden Prabowo Subianto, menurutnya, harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat agar manfaatnya tidak berubah menjadi malapetaka.
“Makanan gratis dari dari program MBG Presiden Prabowo Subianto harus dijaga demi anak-anak bangsa, tak boleh dibayar dengan muntah massal akibat dari kelalaian/kesalahan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab!” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement