Kredit Foto: PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM)
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) mencatat kinerja produksi aluminium yang relatif optimal sepanjang semester I/2025. Namun, di tengah capaian positif tersebut, penjualan alumunium alloy dan billet justru mengalami penurunan signifikan dibandingkan target kerja yang ditetapkan.
Direktur Utama Inalum, Melati Sarnita, mengungkapkan bahwa penjualan alumunium alloy turun 11% dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).
Penurunan ini erat kaitannya dengan melemahnya industri otomotif dalam negeri yang selama ini menjadi konsumen utama aluminium alloy.
Baca Juga: Laba Bersih Inalum Tembus US$82,3 Juta di Semester I/2025, 35% dari Target
"Mostly memang kita lihat ada penurunan penjualan di alloy Pak, ini disebabkan oleh lemahnya industri otomotif Indonesia saat ini," ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (29/9/2025).
Tidak hanya alloy, penjualan billet juga terpukul lebih keras. Realisasi penjualan billet semester I/2025 tercatat 60% lebih rendah dari RKAP. Menurut Melati, kondisi ini merefleksikan lemahnya daya beli masyarakat dan terhentinya geliat pembangunan infrastruktur nasional.
"Ini juga menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat dan tidak berjalannya industri infrastruktur dan pembangunan-pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini," jelasnya.
Padahal, dari sisi produksi, Inalum berhasil menjaga kinerja. Hingga Juni 2025, realisasi produksi aluminium mencapai 139.147 ton, atau 2% lebih tinggi dari target. Hal ini didukung pot in operation yang mencapai 500 pot serta faktor alam, seperti level air Danau Toba yang relatif tinggi sehingga mendukung kinerja PLTA Inalum.
Baca Juga: Proyek Pot Upgrading Sukses Maksimalkan Produksi dan Penjualan PT Inalum
Namun, kelebihan produksi tersebut tidak terserap maksimal di pasar domestik. Melati menilai pelemahan Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia pada 2025 menjadi sinyal nyata turunnya aktivitas industri.
"Karena kita melihat banyak pelemahan di dalam negeri. Terutama kemarin yang kita lihat itu di konstruksi karena proyek-proyek infrastruktur lumayan tidak banyak di tahun 2025. Kemudian juga di otomotif yang diproduksi di dalam negeri. Solarcell itu pakai frame dari kita Pak tapi kecil sekali," tambahnya.
Kondisi tersebut memaksa Inalum menambah porsi ekspor sebagai kompensasi. Jika pada 2024 ekspor hanya 12% dari total penjualan, maka tahun ini proporsinya naik menjadi 27%. Melati menegaskan langkah itu terpaksa dilakukan karena industri dalam negeri tidak mampu menyerap produksi.
"Di pasar global justru terjadi defisit aluminium sekitar 5 juta ton per tahun, jadi ekspor menjadi opsi untuk menjaga cash flow," katanya.
Baca Juga: Irawan Sinaga: Anak Nelayan Jadi Pengusaha Kepiting Cangkang Lunak Berkat Bantuan Inalum
Meski begitu, Inalum berharap dukungan dari DPR RI dan pemerintah untuk memperkuat industri hilir aluminium nasional. Menurut Melati, tanpa proteksi dan stimulus terhadap industri hilir, kapasitas produksi baru yang tengah dikembangkan Inalum—hingga 900 ribu ton pada 2029—berisiko hanya dinikmati pasar luar negeri.
"Karena harapan kami Pak dengan 900 ribu kita bangun di midstream dan upstream kalau industri hilir nya downstream di end-customer nya tidak kita jaga nantinya malah pasarnya dinikmati oleh orang lain," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement