Kredit Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Kebijakan penyerapan gabah kering panen (GKP) semua kualitas atau any quality membuat biaya pengadaan beras Perum BULOG melonjak.
Data per 20 September 2025 menunjukkan rata-rata rendemen pengolahan hanya 50,8%, sehingga harga beras hasil pengadaan tembus Rp14.404 per kilogram, jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp12.000 per kilogram di gudang BULOG.
Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Khudori mengungkap, dari total 4,23 juta ton GKP yang diserap BULOG, hanya 34,47% atau 1,46 juta ton yang memenuhi standar kualitas. Sisanya, 65,53% atau 2,77 juta ton, tidak sesuai kriteria akibat kadar air dan butir hampa yang terlalu tinggi.
Baca Juga: Realisasi Anggaran Ketahanan Pangan Capai Rp73,6 T, Pemerintah Fokus Infrastruktur dan Bulog
“Gabah kualitas rendah memerlukan penanganan lebih rumit dan mahal. Ketika kapasitas pengering terbatas, gabah bisa telantar dan memburuk kualitasnya. Ujungnya beras yang dihasilkan bermutu rendah,” kata Khudori dalam keterangannya, Rabu (1/10/2025).
Menurutnya, situasi ini terjadi karena kebijakan baru pemerintah yang mengatur penyerapan gabah tanpa syarat kualitas, sesuai Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No. 14/2025 dan Inpres No. 6/2025. Padahal, sejak BULOG berdiri pada 1967, penyerapan gabah selalu mensyaratkan standar kualitas.
Menurut Khudori, beban biaya pengadaan kian membengkak karena pengolahan dilakukan lewat sistem maklon dengan mitra penggilingan. Meski target serapan 3 juta ton setara beras tercapai, harga beras BULOG menjadi lebih mahal akibat rendemen rendah.
“Harga ini belum termasuk biaya bunga bank, distribusi, penyimpanan, dan manajemen. Jadi hampir pasti harga pokok beras (HPB) BULOG akan lebih mahal,” ujar Khudori.
Dampak lainnya, stok beras 3,9 juta ton di gudang BULOG berisiko rusak bila disimpan terlalu lama. Kualitas gabah rendah membuat beras tidak tahan simpan, mudah turun mutu, dan menimbulkan kerugian lebih besar.
Baca Juga: Pemerintah Bikin Aturan Melarang Impor Beras
Selain persoalan biaya, kebijakan penyerapan gabah semua kualitas dinilai menimbulkan moral hazard. Petani dan pengepul cenderung menjual gabah berkualitas rendah ke BULOG, sementara gabah bagus dialihkan ke penggilingan swasta.
“Ini bisa mengganggu keberlanjutan swasembada beras karena petani terdorong panen dini untuk memenuhi serapan,” jelasnya.
Khudori menilai pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan ini.
“Di mana-mana berlaku kaidah, barang dihargai sesuai kualitas. Menyamakan harga gabah tanpa melihat mutu justru tidak mendidik dan membebani keuangan negara,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement