Makan Bergizi Gratis: Dari Kepedulian ke Kedaulatan Pangan Nasional
Oleh: Teguh Anantawikrama, Founder and Chairman of the Indonesian Tourism Investor Club and Vice Chairman of the Indonesian Chamber of Commerce
Kredit Foto: Istimewa
Ketika Presiden Prabowo Subianto menegaskan,
“Satu insiden pun tetap tidak bisa ditoleransi. Skalanya besar, tapi komitmen kita sederhana: 0% insiden, 100% bergizi,”
pesan itu bukan sekadar peringatan teknis, melainkan sebuah deklarasi moral dan kebijakan: bahwa pembangunan manusia tidak boleh dikompromikan oleh kelalaian sistem.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini bukan hanya proyek sosial berskala besar—dengan 35,4 juta penerima manfaat setiap hari melalui 11.900 dapur di 38 provinsi—tetapi telah menjadi sumbu utama transformasi ekonomi pangan Indonesia.
Dari Subsidi ke Rantai Nilai: Revolusi Tenang dalam Ekonomi Desa
Di balik dapur MBG, tumbuh ekosistem yang hidup: lebih dari 1,2 juta pelaku usaha dari berbagai skala kini terlibat langsung dalam rantai pasok pangan nasional.
Program ini telah menciptakan peluang baru bagi:
• 450 ribu petani dan peternak kecil sebagai pemasok bahan pokok bergizi.
• 280 ribu UMKM olahan pangan dan katering lokal yang menggerakkan dapur komunitas.
• 210 ribu usaha mikro pendukung di bidang pengemasan, kebersihan, dan transportasi pangan.
• 120 ribu usaha kecil-menengah di logistik dan cold chain yang memastikan kesegaran bahan.
• 150 ribu tenaga gizi, relawan, dan teknisi kualitas pangan yang menjaga standar higienitas.
Totalnya, lebih dari 20 sektor ekonomi—dari pertanian, perikanan, manufaktur makanan, logistik, hingga teknologi digital—terhubung dalam satu ekosistem ketahanan pangan yang inklusif.
Rantai ini kini menjadi jantung ekonomi domestik bernilai Rp125 triliun per tahun, sebuah bukti bahwa keberpihakan sosial dapat berjalan seiring dengan penguatan daya saing ekonomi.
UMKM sebagai Penggerak Kedaulatan Pangan
Yang paling menarik dari MBG bukanlah skalanya, melainkan model organisasinya.
Program ini tidak dikerjakan dengan pendekatan “top-down”, melainkan model kolaborasi multi-skala usaha di mana setiap pelaku memiliki peran strategis:
• Usaha mikro dan kecil (UMK) menyuplai bahan dan tenaga lokal.
• Usaha menengah menjadi penghubung distribusi dan pengelola dapur bersertifikat.
• Usaha besar dan BUMN pangan menjamin teknologi, logistik, dan kualitas gizi.
Dengan model ini, MBG menjadi prototipe ekonomi berbasis solidaritas nasional, di mana negara hadir bukan sebagai penyedia tunggal, melainkan orkestrator ekosistem.
Dari Ketahanan ke Kedaulatan
Dalam konteks global yang semakin tidak pasti—krisis pangan, disrupsi rantai pasok, dan perubahan iklim—Indonesia sedang menunjukkan model baru:
ketahanan pangan yang berakar di desa, tetapi terkoneksi digital ke pusat.
Kedaulatan pangan bukan sekadar swasembada, melainkan kemampuan sistem untuk memastikan setiap anak bangsa mendapat asupan bergizi aman dan berkelanjutan.
Ketika 411 bupati dan wali kota berhasil menjaga daerahnya tanpa satu pun insiden MBG, itu adalah bukti bahwa birokrasi, masyarakat, dan dunia usaha dapat bersinergi di atas nilai bersama: “makan bergizi adalah hak, bukan bantuan.”
Penutup: Indonesia Memberi Teladan
Pada peringatan World Food Day 2025, dunia menyaksikan Indonesia bukan hanya sebagai pasar besar pangan, tetapi sebagai model baru tata kelola pangan berbasis gotong royong dan digitalisasi.
Program MBG bukan hanya menyiapkan generasi sehat, tapi juga menanamkan etos produktif dan kolaboratif di seluruh rantai ekonomi rakyat.
Kedaulatan pangan dimulai dari meja makan setiap anak Indonesia — dan melalui MBG, kita sedang membangun masa depan bangsa yang bergizi, tangguh, dan bermartabat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement