Ruang Perempuan untuk Terlibat dalam Pengambilan Keputusan di Parlemen Kini Lebih Besar
Kredit Foto: Dok. Kemen PPPA
Perempuan kini memiliki ruang lebih besar untuk terlibat proses politik dan pengambilan keputusan strategis di parlemen melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 169/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Baca Juga: IdeaFest Jadi Wadah Penting Pelaku Kreatif untuk Berkembang
Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa setiap pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD), seperti Komisi, MKD, Bamus, Baleg, Banggar, Pansus, BURT, maupun BKSAP, wajib memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi menyampaikan apresiasi atas langkah progresif MK tersebut.
“Putusan ini merupakan tonggak penting bagi kemajuan demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan gender. Keterwakilan perempuan di tingkat pimpinan AKD bukan hanya soal angka, tetapi juga memastikan perspektif dan pengalaman perempuan hadir dalam setiap kebijakan yang berdampak bagi masyarakat,” ujar Menteri PPPA, dikutip dari siaran pers Kemen PPPA, Selasa (4/11).
Persoalan minimnya keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD sebelumnya telah disuarakan oleh koalisi masyarakat sipil, di antaranya Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Perludem, yang kemudian mengajukan gugatan ke MK. Isu ini juga telah menjadi perhatian Kemen PPPA melalui berbagai forum advokasi, termasuk Seminar Politik Nasional pada November 2024 yang membahas pentingnya representasi perempuan dalam lembaga legislatif.
Berdasarkan data Kemen PPPA sampai bulan September 2025, pimpinan AKD perempuan terbanyak berada di Komisi IX (Bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Jaminan Sosial) dengan tiga orang perempuan. Sementara itu, masih terdapat lima komisi di DPR RI yang belum memiliki pimpinan perempuan, yaitu Komisi I, II, V, VIII, dan XI. Ironisnya, Komisi VIII yang membidangi urusan perempuan dan perlindungan anak justru belum memiliki pimpinan perempuan sama sekali.
Menteri PPPA menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam posisi strategis sangat penting untuk memastikan isu-isu kesetaraan gender dan perlindungan anak menjadi bagian dari kebijakan public disemua sektor.
“Ketiadaan perempuan dalam pimpinan AKD berpotensi menghilangkan perspektif perempuan dalam kebijakan politik, agama, pertahanan, dan sektor lainnya. Dengan jumlah perempuan Indonesia yang hampir setara dengan laki-laki, kebijakan yang sensitif gender akan memperkuat kualitas pembangunan manusia Indonesia secara menyeluruh,” ungkap Menteri PPPA.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Advertisement