Kredit Foto: Uswah Hasanah
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dinilai masih berpotensi menembus level 9.000 hingga akhir tahun 2025 jika digerakkan oleh saham-saham berkapitalisasi besar (big cap). Namun, Praktisi Pasar Modal, Hans Kwee, mengingatkan bahwa kenaikan tersebut belum didukung oleh faktor fundamental yang solid.
“Naikin indeks itu sebenarnya gampang. Kita tarik ke saham gede-gede itu, sampai 9.000,” ujar Hans kepada media di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Meski secara teknikal indeks berpeluang menguat, Hans menilai pergerakan tersebut bersifat semu apabila tidak dibarengi dengan penguatan ekonomi riil. Ia menyebut level IHSG saat ini di kisaran 8.384 sudah cukup wajar dan tidak perlu dipaksakan naik terlalu cepat.
Baca Juga: Target IHSG 9.000 Masih Terlalu Ambisius
“Kalau mereka mau, pasti bisa (IHSG 9.000). Tapi saya jujur saja, indeks di 8.384 sudah oke. Kita tidak perlu memaksakan sampai 9.000, biarkan ada ruang untuk tahun depan,” katanya.
Hans menjelaskan, tren penguatan IHSG dalam beberapa waktu terakhir banyak digerakkan oleh saham-saham konglomerasi. Dominasi saham besar ini menyebabkan arah indeks tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya.
“Sesudah saham konglomerasi itu naik, kita seperti kehilangan arah. Kalau indeks kita tanpa saham konglo, mungkin cuma di level 6.000-an,” ungkapnya.
Ia menilai, struktur pasar modal Indonesia masih timpang karena sebagian besar pergerakan indeks ditentukan oleh emiten besar. Di sisi lain, investor ritel masih menjadi penggerak utama perdagangan harian, sementara investor institusional cenderung berhati-hati.
“Institusi sekarang tidak bisa banyak bergerak. Kalau dana pribadi rugi, ya rugi. Tapi kalau dana institusi rugi, nanti dikaitkan dengan kerugian negara. Jadi mereka hati-hati,” jelas Hans.
Baca Juga: BEI Nilai Target IHSG 9.000 yang Ditetapkan Menkeu Purbaya Realistis
Lebih lanjut, ia menyoroti perubahan arah kebijakan otoritas pasar modal yang kini lebih menekankan kualitas ketimbang kuantitas dalam proses penawaran umum perdana saham (IPO). Dari target sekitar 60 perusahaan, hingga saat ini baru 24 emiten yang resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Sekarang otoritas memperketat. Kita punya pilihan antara kuantitas dan kualitas, dan mereka geser ke kualitas,” ujarnya.
Menurut Hans, langkah tersebut positif untuk menjaga kredibilitas pasar serta melindungi investor dari risiko perusahaan dengan fundamental lemah. Ia juga menilai kebijakan lain seperti penerapan Full Call Auction (FCA) dan perbaikan indeks MSCI perlu dikaji dengan keseimbangan antara aturan ketat dan fleksibilitas bagi emiten.
“Kita tidak perlu mengejar angka 9.000 semata. Lebih penting membangun pasar yang stabil dan kredibel,” pungkas Hans.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement