Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ajak Berdamai dengan Masa Lalu, Pimpinan Syarikat Islam Gorontalo Ridwan Monoarfa Paparkan Warisan Berharga Soeharto

Ajak Berdamai dengan Masa Lalu, Pimpinan Syarikat Islam Gorontalo Ridwan Monoarfa Paparkan Warisan Berharga Soeharto Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pimpinan Syarikat Islam Provinsi Gorontalo, Ridwan Monoarfa, menilai penolakan wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, adalah kegagalan berdamai dengan masa lalu politik. 

Merespons penolakan oleh Mantan Presiden Kelima, Megawati, Ridwan menilai hal itu terkait hubungan politik antara keluarganya dan Soeharto.

“Pernyataan Ibu Megawati memberi pesan bahwa beliau belum berdamai dengan masa lalunya, khususnya hubungannya dengan Pak Harto. Yang lebih jauh dari itu, justru mengesankan masih ada sikap politik yang didorong oleh rasa dendam,” ujar Ridwan di Gorontalo, Sabtu (8/11/2025).

Ridwan menilai bahwa semangat rekonsiliasi nasional yang sedang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto seharusnya mendapat dukungan dari semua pihak, terutama dari tokoh-tokoh yang pernah menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa.

Namun, menurutnya, sikap Megawati justru dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya proses tersebut.

“Rekonsiliasi nasional itu tumbuh dari kesadaran dan partisipasi aktif dari mereka yang disebut korban kebijakan politik tertentu. Jadi, sikap Bu Megawati boleh jadi bukan hanya menghambat, tapi berpotensi menggagalkan gagasan besar rekonsiliasi nasional yang digagas Presiden Prabowo,” tegasnya.

Baca Juga: Ajak Putuskan Wariskan Luka Politik, Aktivis Papua Nilai Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan

Lebih lanjut, Ridwan mengajak publik untuk meneladani tokoh-tokoh bangsa yang meski berbeda pandangan politik, tetap menjunjung tinggi nilai persatuan dan kemanusiaan.

“Terkait keteladanan tokoh yang berseberangan politik tanpa kehilangan sikap kritis, kita mesti meneladani Ali Sadikin, Gus Dur, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menyadari bahwa masa lalu adalah tesis dari dialektika masa depan, sebuah antitesis yang harus diwariskan kepada generasi muda dengan mengambil nilai terbaik dan menguburkan yang buruk sebagai sintesis sejarah,” jelasnya.

Menurut Ridwan, kemampuan berdamai dengan sejarah bukan berarti menghapus memori kritis, melainkan mengelola pengalaman masa lalu sebagai pelajaran kebangsaan.

Dalam pandangan Ridwan Monoarfa, jasa besar Presiden Soeharto terhadap bangsa Indonesia tidak berhenti ketika ia tidak lagi berkuasa, bahkan tetap berlanjut setelah wafatnya.

“Jasa besar Soeharto, sebagaimana juga Bung Karno, tidak berhenti ketika mereka tidak berkuasa lagi, apalagi setelah wafat. Dalam konteks ini saya ingin menegaskan bahwa warisan Soeharto patut dijadikan inspirasi bagi generasi penerus,” tutur Ridwan.

Baca Juga: Dukung Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Observo Center: Saatnya Berdamai dengan Sejarah

Ia menyebut setidaknya ada tiga warisan penting dari kepemimpinan Soeharto yang masih dirasakan hingga kini:

  1. Daya beli masyarakat yang kuat (purchasing power) — menjadi fondasi berlanjutnya pertumbuhan ekonomi nasional.
  2. Institusi birokrasi dan TNI yang solid — berperan penting dalam menjaga keutuhan dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Penyebaran Bahasa Indonesia secara luas dan masif — memperkuat identitas nasional serta memperkokoh persatuan bangsa.

“Warisan tersebut merupakan bagian dari proses panjang menjadi Indonesia di era kontemporer. Nilai-nilai yang diwariskan Soeharto patut dijadikan inspirasi generasi penerus untuk terus memperkuat persatuan dan kemajuan bangsa,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: