Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sebut Pentingnya Rekonsiliasi Bangsa, ARCB Ajak Beri Penghormatan pada Presiden ke-2 RI Soeharto

Sebut Pentingnya Rekonsiliasi Bangsa, ARCB Ajak Beri Penghormatan pada Presiden ke-2 RI Soeharto Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Koordinator Aliansi Rakyat Cirebon Bersatu (ARCB), Wahyu Irawan, menanggapi penolakan terhadap usulan penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, H.M. Soeharto. Menurut Wahyu, penolakan yang dilatarbelakangi oleh luka sejarah keluarga mencerminkan cara pandang yang personal dalam menilai sejarah bangsa.

“Bangsa besar seharusnya tidak terus-menerus hidup dalam bayang-bayang luka masa lalu, melainkan bertumbuh melalui penghormatan terhadap jasa para pemimpinnya, meskipun kontroversial,” ujar Wahyu.

Ia menambahkan, “Jika ukuran yang dipakai adalah luka pribadi, bangsa ini akan terjebak dalam ruang dendam tanpa ujung. Indonesia dibangun oleh banyak tangan dan pengorbanan, bukan hanya oleh satu keluarga.”

Pernyataan itu disampaikan Wahyu menanggapi sikap Megawati yang sebelumnya disampaikan dalam sebuah seminar internasional memperingati 70 tahun Konferensi Asia-Afrika di Blitar. Megawati menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dengan alasan adanya luka sejarah dalam keluarganya, terutama terkait masa-masa akhir kepemimpinan Soekarno.

Wahyu menilai alasan berbasis luka pribadi berpotensi mengaburkan esensi penilaian kepahlawanan yang seharusnya bersifat nasional.

“Luka pribadi seharusnya disembuhkan, bukan diwariskan. Jika bangsa ini terus memelihara luka, kapan kita belajar berdamai dengan sejarah?” tuturnya.

Ia menilai bahwa kontribusi Soeharto terhadap pembangunan bangsa tidak dapat diabaikan begitu saja hanya oleh perbedaan tafsir politik. Wahyu mengingatkan, selama lebih dari tiga dekade, Soeharto dinilai berhasil menjaga stabilitas nasional, menumbuhkan ekonomi, dan memperkuat pertahanan negara.

“Pak Harto memiliki catatan panjang dalam pembangunan dan diplomasi. Kita boleh memperdebatkan kekurangannya, tetapi menutup mata terhadap jasanya merupakan suatu ketidakadilan sejarah,” katanya.

Wahyu menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan rekonsiliasi untuk berdamai dengan masa lalu, alih-alih terus terbelenggu dalam narasi luka.

“Kita sering mendengar partai politik berbicara tentang perdamaian. Namun, jika perdamaian justru dimulai dengan menolak pengakuan atas jasa seorang pemimpin, bukankah itu sebuah paradoks?” ujarnya.

Ia juga menyoroti kecenderungan sebagian elit politik yang masih memandang sejarah sebagai milik keluarga, bukan milik bangsa secara keseluruhan.

“Sejarah bukanlah album keluarga, apalagi tempat untuk menyimpan sakit hati. Sejarah adalah cermin bangsa untuk berkaca dan belajar demi masa depan,” tegas Wahyu.

ARCB, melalui Wahyu, mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan pemberian Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto sebagai bentuk pengakuan atas jasa-jasa kepemimpinannya.

“Kami di Cirebon masih merasakan hasil nyata dari berbagai kebijakan di era Orde Baru, mulai dari sektor pertanian, pendidikan, hingga infrastruktur. Itu adalah bagian dari sejarah pembangunan yang tidak dapat dihapus hanya karena dasar perasaan semata,” ungkapnya.

Wahyu mengajak semua pihak untuk menempatkan sejarah secara proporsional.

“Bangsa besar bukanlah bangsa yang hidup dari luka, melainkan dari penghormatan terhadap mereka yang telah berjuang. Mengakui jasa Soeharto tidak serta merta melupakan jasa Soekarno. Justru, itulah cara untuk menjaga keseimbangan dalam memandang sejarah Indonesia,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: