Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik Bandara Morowali, Akademisi ITB Luruskan Informasi Soal Akses Negara dan Status Kepemilikan

Polemik Bandara Morowali, Akademisi ITB Luruskan Informasi Soal Akses Negara dan Status Kepemilikan Kredit Foto: Kemenhub
Warta Ekonomi, Jakarta -

Polemik mengenai keberadaan dua bandara di kawasan industri Morowali kembali mencuat di ruang publik. Menanggapi berbagai klaim yang beredar, dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Mohamad Abdulkadir Martoprawiro, memberikan penjelasan komprehensif untuk meluruskan informasi yang dinilai tidak akurat terkait Bandara Morowali dan Bandara IMIP.

Menurut Abdulkadir, Morowali memang memiliki dua bandara dengan karakteristik dan fungsi yang sepenuhnya berbeda.

Bandara pertama adalah Bandara Morowali (Bandara Udara Bungku/Maleo) yang merupakan bandara pemerintah. Bandara ini dibangun dengan APBN/APBD, dikelola Kementerian Perhubungan sebagai bandara umum, memiliki fasilitas terminal sipil, serta menjadi jalur konektivitas masyarakat dan logistik regional. Aparat negara seperti imigrasi, Bea Cukai, serta TNI/Polri memiliki akses penuh ke fasilitas tersebut. Bandara ini sudah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

Sebaliknya, bandara kedua yaitu Bandara IMIP (Bandara PT Indonesia Morowali Industrial Park) merupakan fasilitas khusus milik korporasi konsorsium Indonesia–Tiongkok di kawasan industri IMIP. Bandara ini berfungsi sebagai sarana logistik internal industri, termasuk mobilitas pekerja dan bongkar muat peralatan teknis. Statusnya adalah bandara privat, sehingga tidak wajib menyediakan pos Bea Cukai dan Imigrasi serta tidak diwajibkan menerima penerbangan umum. Kendati demikian, bandara tersebut tetap berada di bawah pengawasan negara, termasuk terkait izin operasi, keselamatan penerbangan, dan persetujuan rute.

Baca Juga: Bandara Internasional Komodo Terus Tunjukkan Peningkatan Arus Penumpang

Abdulkadir menegaskan bahwa Bandara IMIP bukan bandara internasional dan tidak diperbolehkan menerima penerbangan dari luar negeri tanpa izin khusus. Oleh karena itu, anggapan bahwa barang dan orang dapat keluar masuk tanpa kontrol negara dinilai tidak tepat. Jika ada tenaga kerja asing yang masuk ke kawasan IMIP, mereka tetap wajib melalui bandara internasional resmi sebelum melanjutkan perjalanan domestik.

Ia juga meluruskan klaim di publik yang menyebut bahwa aparat TNI/Polri tidak dapat memasuki kawasan bandara IMIP. Menurutnya, akses bagi aparat memang memerlukan protokol koordinasi sesuai standar objek vital industri, namun bukan berarti negara tidak memiliki akses. Abdulkadir menyebut latihan militer Kopasgat/Kopasgard yang berlangsung di dalam kawasan IMIP pada 20 November 2025 sebagai bukti bahwa aparat tetap dapat masuk apabila diperlukan.

Baca Juga: Purbaya Siap Kerahkan Petugas Bea Cukai Periksa Bandara IMIP Morowali

Meskipun keberadaan bandara perusahaan di Morowali memicu kekhawatiran sebagian masyarakat, Abdulkadir menilai fasilitas semacam ini bukan fenomena baru. Indonesia telah memiliki puluhan bandara khusus milik swasta, antara lain di area pertambangan Freeport, PT Vale, Adaro, hingga perkebunan besar di Kalimantan dan Sumatra. Seluruhnya beroperasi di bawah ketentuan yang sama dengan Bandara IMIP.

Menurutnya, isu bandara IMIP menjadi kontroversial karena sensitivitas geopolitik, besarnya investasi asing, posisi strategis industri nikel dan baterai, serta minimnya pemahaman publik mengenai regulasi bandara khusus. Ia mengakui bahwa kritik masyarakat tetap relevan, terutama terkait perlunya transparansi dan pengawasan keamanan serta ketenagakerjaan. Namun ia menilai sebagian narasi yang menyebut adanya “negara dalam negara” bersifat berlebihan dan tidak mencerminkan fakta hukum.

Menurut Abdulkadir, Bandara Morowali sebagai bandara negara tidak memiliki masalah, sementara Bandara IMIP legal sebagai fasilitas privat dan tetap berada di bawah kewenangan pemerintah, meski perlu pengawasan yang lebih baik mengingat ukuran dan sensitivitas kawasan industri tersebut. 

Narasi “negara dalam negara”, kata Abdulkadir, lebih merupakan kritik keras soal kurangnya transparansi, bukan deskripsi konkret tentang hilangnya kedaulatan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: