Kredit Foto: Uswah Hasanah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempercepat reformasi regulasi keuangan berkelanjutan guna memastikan pelaporan keberlanjutan di Indonesia semakin selaras dengan standar global. Langkah ini menjadi strategi utama untuk memperkuat transparansi, mencegah greenwashing, serta meningkatkan mitigasi risiko iklim di sektor keuangan nasional.
Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Isabella Wattimena, menyampaikan bahwa penguatan kerangka regulasi merupakan fondasi penting untuk menjaga kredibilitas industri jasa keuangan di tengah meningkatnya tuntutan pasar global. “OJK saat ini tengah menyelesaikan revisi POJK 51/2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan,” ujarnya di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (2/12/2025).
Baca Juga: Majelis Komisioner KIP Wajibkan OJK Buka Dokumen Dewan Komisioner ke Publik
Indonesia telah mengadopsi standar pelaporan keberlanjutan PSDK 1 dan 2 pada Juli 2025, dengan peluncuran resmi pada 11 Agustus 2025. Kedua standar tersebut mengacu pada IFRS S1 dan S2 yang diterbitkan International Sustainability Standards Board (ISSB) pada 2023. Dengan adopsi ini, Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan yang mengintegrasikan standar global ke dalam regulasi nasional secara komprehensif.
Revisi POJK 51/2017 dirancang sebagai regulasi payung lintas sektor bagi seluruh pelaku jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Aturan baru tersebut mengusung pendekatan climate-first melalui dua perspektif materialitas: outside-in—dampak risiko iklim terhadap perusahaan—dan inside-out—dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan. Sophia menjelaskan, sejumlah ketidaksesuaian antara aturan saat ini dan IFRS S1–S2 kini ditutup, termasuk kewajiban informasi pembanding dan keterkaitan lebih jelas antara laporan keberlanjutan dan laporan keuangan.
Baca Juga: Inflasi Medis Tekan Premi, OJK Minta Perusahaan Asuransi Lakukan Ini
OJK turut memperkuat implementasi keuangan berkelanjutan melalui Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 1 dan 2. TKBI versi 3 yang akan terbit pada 2026 mengusung dua kategori utama, green dan transition, guna meningkatkan kejelasan klasifikasi, mengurangi risiko greenwashing, serta mendukung pembiayaan transisi energi.
Reformasi regulasi ini berjalan seiring amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang membentuk Komite Keuangan Berkelanjutan. Komite beranggotakan sekitar 20 orang dan diketuai Menteri Keuangan, dengan aturan turunan yang ditargetkan berlaku pada kuartal I 2026 untuk memperkuat koordinasi lintas sektor.
Sophia menegaskan bahwa harmonisasi standar nasional dan internasional menjadi kunci agar pelaporan ESG lebih kredibel dan dapat diperbandingkan secara global. “Penyelarasan dengan IFRS memastikan laporan keberlanjutan Indonesia memenuhi ekspektasi global dan mendukung implementasi keuangan berkelanjutan yang lebih kuat,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement