Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menata Jalan Baru Ekonomi Hijau Indonesia

Menata Jalan Baru Ekonomi Hijau Indonesia Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di tengah ketidakpastian global yang ditandai perlambatan ekonomi, pergeseran rantai pasok, serta pengetatan regulasi iklim, Indonesia memasuki fase strategis yang akan menentukan arah daya saingnya dalam beberapa dekade ke depan.

Dunia bergerak menuju ekonomi hijau, dan setiap negara berupaya menempatkan diri pada posisi yang menguntungkan sebelum dinamika transisi ini mengeras menjadi standar baru. Pertanyaannya kini adalah apakah Indonesia mampu berada di barisan terdepan, atau justru bergerak mengikuti langkah negara lain.

Urgensi ini muncul bukan karena Indonesia kekurangan kapasitas, melainkan karena ruang manuver semakin mengecil bagi negara maupun pelaku usaha yang lambat beradaptasi. Uni Eropa telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Pasar global menempatkan kinerja keberlanjutan sebagai persyaratan utama. Arus investasi pun bergeser menuju portofolio hijau, sementara konsumen semakin mempertimbangkan jejak karbon dalam keputusan pembelian.

Di tengah perubahan tersebut, Indonesia menegaskan komitmennya menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Target ini bukan semata aspirasi lingkungan, tetapi kebutuhan strategis untuk mempertahankan daya tarik investasi, memperkuat daya saing industri, dan memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Transisi menuju ekonomi rendah karbon membutuhkan lebih dari sekadar adopsi teknologi; ia menuntut kolaborasi, kepemimpinan, dan penataan ulang pendekatan pembangunan lintas sektor.

Momentum Kolaborasi di ESG Symposium 2025

Komitmen tersebut mengemuka dalam penyelenggaraan ESG Symposium 2025 Indonesia yang diselenggarakan oleh PT Siam Cement Group (SCG) di Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Acara ini menjadi wadah penting bagi pemerintah, pelaku industri, dan mitra internasional untuk merumuskan arah pembangunan berkelanjutan yang lebih konkret. Bagi Indonesia, simposium ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan ruang untuk mengevaluasi kesiapan industri nasional dalam menghadapi tekanan regulasi global yang semakin ketat.

President & CEO SCG, Thammasak Sethaudom, menegaskan bahwa keberhasilan transisi hijau bergantung pada kemampuan seluruh pemangku kepentingan bekerja bersama.

“Perjalanan Indonesia menuju Net Zero 2060 membutuhkan lebih dari sekadar teknologi. Ini menuntut kemitraan, inovasi, kita dapat bergerak bersama, sambil memastikan transisi berlangsung adil dan inklusif. Lewat prinsip inclusive green growth, SCG tetap berkomitmen untuk bekerja bersama pemerintah, mitra bisnis, serta komunitas guna mendukung transisi keberlanjutan Indonesia,” ujarnya.

Konsep inclusive green growth yang diusung SCG menekankan pentingnya pemerataan manfaat dalam transformasi industri. Prinsip ini menjadi semakin relevan karena keberlanjutan tidak dapat dicapai oleh satu pihak saja; diperlukan orkestrasi kolektif antara sektor publik, swasta, dan masyarakat.

Deklarasi PPPP: Model Kolaborasi Baru

Komitmen kolaboratif itu diwujudkan melalui penandatanganan joint declaration – Public, Private, People Partnership (PPPP). Dokumen ini menegaskan kerja sama antara PT Semen Jawa (anak usaha SCG), Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan tujuh perusahaan besar lintas sektor seperti PT Pratama Abadi Industri, PT Glostar Indonesia, PT Pou Yuen Indonesia, PT Feng Tay Indonesia Enterprises, PT Panasonic Gobel Life Solution Manufacturing Indonesia, dan PT Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group).

Deklarasi PPPP bertujuan memperkuat ekosistem pengembangan solusi keberlanjutan, mulai dari pengelolaan limbah hingga pemanfaatan energi alternatif. Salah satu implementasi paling nyata adalah fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF) pertama SCG di Sukabumi yang telah beroperasi.

"Contoh ini membuktikan bahwa keberlanjutan sudah berjalan di sini…karena kita melakukannya bersama,” lanjut Thammasak.

Fasilitas RDF tersebut menjadi model bagaimana sinergi antara pemerintah daerah, industri, dan komunitas mampu menghasilkan dampak konkret: mengurangi beban sampah kota sekaligus menyediakan bahan bakar alternatif yang lebih rendah emisi bagi industri semen.

Diplomasi Hijau Dua Negara Serumpun

Dukungan bukan hanya datang dari dalam negeri. Duta Besar Kerajaan Thailand untuk Republik Indonesia, Prapan Disyatat, memberikan apresiasi atas langkah SCG sekaligus memperluas pembicaraan ke ranah yang lebih besar: diplomasi keberlanjutan.

“Pekan lalu, kita semua pasti melihat berita baik di Hat Yai, Thailand; Aceh; Sumatra Utara; maupun Sumatra Barat—yang dilanda banjir parah hingga menyebabkan kerusakan besar dan kerugian ekonomi bagi kedua negara kita,” katanya.

Prapan menegaskan bahwa bencana-bencana tersebut adalah pengingat bahwa perubahan iklim merupakan ancaman bersama.

Thailand sendiri menetapkan target netralitas karbon pada 2050 dan Net Zero pada 2065. Ia menegaskan pentingnya kolaborasi bilateral, mengingat kedua negara menghadapi tantangan serupa di sektor industri, pertanian, dan logistik.

Dalam konteks ASEAN, Indonesia dan Thailand berpotensi menjadi dua kekuatan utama dalam memimpin transisi energi kawasan. Prapan menekankan bahwa forum seperti ESG Symposium menjadi wadah penting bagi kedua negara untuk berbagai kebijakan, strategi, dan inovasi.

Kemenperin: Industri Tak Lagi Bisa Menghindar dari Agenda Dekarbonisasi

Dari perspektif kebijakan nasional, Sekretaris Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian, Muhammad Taufiq, memaparkan arah industri Indonesia dalam menghadapi tantangan global.

Ia menyebut dunia kini masuk dalam fase triple planetary crisis: krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Di tengah tekanan tersebut, industri manufaktur Indonesia—yang menyumbang 17,39% PDB dan 80% ekspor—harus mengambil langkah strategis jika ingin mempertahankan daya saing.

“Kami percaya bahwa dekarbonisasi dapat menjadi sumber daya saing baru bagi perusahaan industri bila dirancang sebagai investasi yang menghadirkan penghematan biaya jangka panjang dan peningkatan produktivitas,” kata Taufiq.

Kemenperin menyiapkan kerangka industri hijau yang terdiri dari regulasi, integrasi ekonomi sirkular, adopsi teknologi efisiensi energi, standardisasi dan infrastruktur mutu, serta akses pembiayaan hijau. Pilar-pilar tersebut bukan hanya pedoman, tetapi peta jalan untuk memastikan bahwa industri nasional tidak tertinggal dari standar global seperti CBAM atau regulasi ESG pasar internasional lainnya.

Dengan memasukkan prinsip inclusive green growth, pemerintah memastikan bahwa transformasi ini tidak hanya menguntungkan perusahaan besar, tetapi juga UMKM industri, pekerja, dan masyarakat sekitar kawasan industri.

Energi Masa Depan: Integrasi Digital dan Terbarukan

Technical Head of Smart PV and ESS Huawei Digital Power APAC, Jim Tai, memaparkan arah masa depan energi global. Menurutnya, dunia menuju dominasi energi terbarukan dengan penetrasi mencapai 91% pada 2050, naik signifikan dari 29% saat ini.

Proyeksi Penetrasi Energi Terbarukan Dunia (2023–2050)

Ia juga menegaskan bahwa elektrifikasi di sektor transportasi dan industri akan meningkatkan kebutuhan integrasi antara sistem energi dan teknologi digital. Perubahan ini menciptakan peluang besar bagi negara yang mampu mengadopsi solusi energi bersih secara masif dan terstruktur.

Logistik Hijau: Efisiensi sebagai Katalis Reduksi Emisi

Dalam konteks rantai pasok, Chakrarit Kiratip dari SCG JWD Logistics memaparkan tantangan besar sektor logistik yang menyumbang lebih dari 10% emisi global. Namun, ia juga menunjukkan bahwa transformasi logistik dapat menjadi kunci efisiensi sekaligus penghematan biaya.

SCG JWD mengadopsi teknologi Advanced Phase Change Material (PCM) untuk cold chain yang mampu mengurangi konsumsi energi lebih dari 20%. Selain itu, optimasi armada berbasis AI menjadi faktor penting dalam pengurangan emisi.

“Kami menggunakan optimasi bertenaga AI. Bagaimana mengelola truk secara nasional. Jadi mengurangi jumlah pengiriman, meningkatkan utilisasi di truk. Jadi ini bisa meningkatkan pengurangan biaya dan juga mengurangi waktu perencanaan perencana kami juga,” jelas Chakrarit.

Lewat SCG Barito Logistics, pendekatan logistik hijau mulai diterapkan di Indonesia, termasuk penggunaan truk Euro 4/5, forklift listrik, dan backhaul matching untuk mengurangi truk kosong.

Jejakin: Data sebagai Pondasi Keberlanjutan

Tidak ada transformasi tanpa pengukuran. Sebuah perusahaan tidak mungkin mengelola emisi jika tidak mengetahui di mana posisi mereka.

“Kita tidak bisa mengelola apa yang tidak bisa kita ukur,” tegas Arfan Arianda, Founder & CEO Jejakin.

Komposisi Emisi Perusahaan 

Ia menjelaskan bahwa sebagian besar perusahaan Indonesia baru menghitung emisi Scope 1 dan 2, padahal kedua kategori itu hanya menyumbang 10% dari jejak karbon total. Sisanya, yakni 90%, bersumber dari Scope 3—emisi sepanjang rantai pasok.

Arfan memberi contoh sebuah perusahaan tambang besar yang menemukan bahwa sumber emisi terbesar mereka justru berasal dari transportasi, bukan produksi. Dengan data yang akurat, perusahaan tersebut merombak rute logistiknya dan berhasil menurunkan biaya sekaligus emisi tanpa perlu investasi energi terbarukan besar-besaran.

Itu adalah bukti bahwa data bukan sekadar angka, tetapi alat strategis untuk transformasi operasional.

Dekarbonisasi sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi

Direktur Eksekutif dan CEO Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa dekarbonisasi bukan hanya kewajiban lingkungan, tetapi prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Tanpa aksi nyata, emisi sektor industri akan melonjak dari 154 juta ton menjadi 319 juta ton pada 2050. IESR mengidentifikasi lima strategi utama dekarbonisasi: efisiensi energi, substitusi bahan bakar dan material, modernisasi teknologi, penggunaan listrik rendah karbon, serta pemanfaatan teknologi penangkapan karbon.

Proyeksi Emisi Industri Indonesia (2023–2050)

Berdasarkan kajian IESR, integrasi dekarbonisasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,1% hingga 2060.

“Oleh karena itu, Ibu dan Bapak sekalian, pertumbuhan rendah karbon atau mengintegrasikan dekarbonisasi dalam industri kita bukanlah sebuah pilihan. Ini adalah prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi tinggi,” tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: