Kredit Foto: Dok. Kemen PPPA
Indonesia berkomitmen kuat dalam mempercepat penghapusan praktik pemotongan atau perlukaan genital perempuan (FGM/C) melalui penguatan kebijakan, peningkatan data berbasis bukti, dan kolaborasi multisektor di tingkat nasional maupun regional.
Hal tersebut ditegaskan Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan dalam pertemuan The Second Southeast Asia Regional Stakeholder Meeting on Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) yang diselenggarakan oleh Asian-Pacific Resource & Research Centre for Women (ARROW), Senin (8/12/2025) di Jakarta.
Baca Juga: Tunjukkan Kinerja Positif, Industri Olahraga RI Siap Berkembang Lebih Cepat
Pertemuan tersebut dihadiri pemerintah negara Asia Selatan, lembaga PBB, pemuka agama, organisasi masyarakat sipil, akademisi.
Wamen PPPA menekankan FGM/C merupakan ancaman serius terhadap hak-hak dan masa depan perempuan.
“FGM/C bukan hanya isu kesehatan publik, tetapi merupakan hambatan mendasar bagi kesetaraan gender. Praktik ini mencerminkan norma diskriminatif yang sudah berlangsung lama dan membatasi kesejahteraan serta potensi perempuan dan anak perempuan,” ujarnya, dikutip dari siaran pers Kemen PPPA, Selasa (9/12).
Indonesia, menurut Wamen PPPA telah mengambil langkah besar untuk memperkuat basis data nasional. Melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, Indonesia kini menjadi satu-satunya negara di Asia Selatan yang memiliki data resmi dan komprehensif terkait prevalensi FGM/C. Data terbaru menunjukkan tren penurunan, namun bentuk FGM/C dengan tingkat perlukaan lebih berat masih dominan.
“Data SPHPN 2024 menunjukkan praktik FGM dengan tingkat perlukaan yang lebih berat mencapai 50 persen, lebih tinggi dibandingkan pemotongan simbolik yang berada di angka 40,3 persen. Temuan ini menegaskan urgensi aksi atau tindak lanjut yang sistematis dan berkelanjutan,” jelas Wamen PPPA.
Wamen PPPA menjelaskan pemerintah telah memasukkan agenda penghapusan praktik sunat perempuan atau FGM/C ke dalam RPJMN 2025–2029 dan memperkuat pengaturannya melalui peraturan turunan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2023, yang mewajibkan eliminasi praktik membahayakan termasuk FGM/C.
Selain kebijakan dan data, transformasi norma sosial menjadi faktor kunci. Wamen PPPA menekankan pentingnya edukasi yang sensitif terhadap konteks budaya dan keagamaan agar tidak menimbulkan resistensi, selain itu kolaborasi lintas sektor seperti pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama, media, dan lembaga internasional juga sangat krusial dalam mempercepat penghapusan FGM/C.
“Bersama-sama, kita dapat membangun masa depan di mana setiap perempuan dan anak perempuan bebas dari kekerasan dan praktik berbahaya,” pungkas Wamen PPPA.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Advertisement