Investasi Energi Bersih Jadi Ujian Besar Ekonomi Indonesia Jelang 2026
Kredit Foto: Uswah Hasanah
Kebutuhan investasi energi bersih berskala besar menjadi salah satu tantangan utama outlook ekonomi Indonesia menuju 2026, seiring target transisi energi nasional yang menuntut pendanaan jumbo dan keterlibatan kuat sektor swasta serta lembaga keuangan. Pemerintah dinilai tidak dapat menanggung beban pembiayaan sendirian, sementara perbankan dan pasar keuangan diposisikan sebagai penggerak utama pendanaan jangka panjang.
Isu tersebut mengemuka dalam forum Public and Business Leader Forum: 2026 Outlook & Challenges yang digelar Universitas Brawijaya di Jakarta. Kepala Mandiri Institute, Andre Simangungsong menegaskan bahwa agenda transisi energi bukan hanya persoalan kapasitas pembangkit, tetapi juga kesiapan infrastruktur dan skema pembiayaan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Inovasi Efisiensi Energi Antar Chandra Asri Raih Penghargaan
“Target pembangunan energi bersih ke depan sangat besar. Kita bicara kapasitas hingga sekitar 70 gigawatt dengan dominasi energi baru dan terbarukan. Tapi yang sering dilupakan adalah kebutuhan investasinya, terutama di sisi transmisi,” ujar Andre, Sabtu (13/12/2025).
Ia menjelaskan, rencana pembangunan green super grid sepanjang sekitar 47 ribu kilometer membutuhkan pendanaan mendekati US$200 miliar atau setara Rp3.000 triliun. Nilai tersebut jauh melampaui kemampuan fiskal pemerintah, sehingga membuka ruang besar bagi investasi swasta dan pembiayaan dari sektor keuangan, baik domestik maupun global.
Menurut Andre, kondisi ini menjadikan pembiayaan berkelanjutan sebagai elemen krusial dalam menjaga momentum ekonomi Indonesia ke depan. Di tengah ketidakpastian global, proyek energi bersih justru dinilai sebagai sumber pertumbuhan jangka panjang yang relatif stabil karena didorong oleh kebijakan dan kebutuhan struktural.
“Transisi energi ini bukan proyek satu-dua tahun. Ini agenda puluhan tahun. Karena itu, peran lembaga keuangan sangat sentral untuk memastikan pendanaan tetap mengalir,” katanya.
Data Mandiri Institute menunjukkan, pembiayaan berkelanjutan di Indonesia terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sekitar 8 persen. Total pembiayaan berkelanjutan telah menembus lebih dari Rp300 triliun, mencerminkan adanya permintaan nyata dari sektor swasta terhadap proyek-proyek efisiensi energi dan penurunan emisi.
Andre menambahkan, sektor keuangan saat ini menjadi enabler utama karena relatif paling siap dari sisi regulasi, instrumen dan tata kelola. Pemerintah masih menjadi penerbit terbesar obligasi hijau dan sosial, namun sektor keuangan menempati posisi kedua dan berperan sebagai penyalur dana ke sektor riil.
Survei terhadap perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia juga menunjukkan bahwa pinjaman hijau (green loan) menjadi instrumen pembiayaan berkelanjutan yang paling diminati. Tren ini mengindikasikan bahwa kebutuhan investasi energi bersih akan terus meningkat dalam tiga hingga lima tahun ke depan, terutama untuk proyek yang berdampak langsung pada efisiensi operasional.
Namun demikian, Andre mengingatkan bahwa kesiapan sektor riil masih bervariasi. Sejumlah sektor seperti agrikultur, barang konsumsi, dan transportasi dinilai masih perlu memperkuat kesiapan implementasi agar mampu menyerap pembiayaan berkelanjutan secara optimal.
Baca Juga: MASKEEI Dorong Implementasi Efisiensi Energi dalam RUED Jakarta 2023–2050
Dalam konteks outlook ekonomi 2026, agenda investasi energi bersih dipandang sebagai ujian kapasitas Indonesia dalam mengombinasikan pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan stabilitas keuangan. Keberhasilan menarik pembiayaan jangka panjang akan menentukan apakah transisi energi dapat menjadi sumber pertumbuhan baru atau justru menjadi beban struktural bagi perekonomian.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement