Kredit Foto: Istimewa
Generasi Z dan milenial Indonesia menghadapi paradoks ekonomi di tengah masifnya adopsi pembayaran digital. Meski tingkat literasi dan inklusi keuangan meningkat, pengelolaan arus kas harian generasi muda masih menjadi tantangan akibat pengeluaran bernilai kecil tetapi berulang serta saldo yang tersebar di berbagai dompet digital dan aplikasi layanan on-demand, termasuk OVO dan Grab. Kondisi ini berimplikasi pada lemahnya kontrol cashflow, terutama pada fase transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2025 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat indeks literasi keuangan Generasi Z mencapai 73,26%, sementara indeks inklusi keuangan nasional berada di level 80,51%. Data tersebut menunjukkan akses terhadap layanan keuangan semakin luas. Namun, peningkatan akses belum sepenuhnya diikuti dengan kemampuan mengelola keuangan harian secara terintegrasi.
Karakter konsumsi digital generasi muda turut memengaruhi kondisi tersebut. Aktivitas harian seperti transportasi, pesan-antar makanan, hingga pembayaran kebutuhan rutin banyak dilakukan melalui platform digital seperti Grab dengan metode pembayaran non-tunai melalui dompet digital. Pola ini membuat arus keluar dana terjadi cepat dan tersebar, sehingga sulit dipantau secara menyeluruh.
Survei Populix bertajuk “Navigating Youth Financial Habits in the Digital Age” tahun ini menunjukkan mayoritas generasi muda menginginkan cashflow yang lebih sehat. Namun, mereka masih mencari sistem pengelolaan keuangan yang praktis, fleksibel, dan relevan dengan gaya hidup digital yang dinamis.
Fenomena tersebut juga dibahas dalam podcast “Xaviera Curhat: Kaget Hadapi Dunia Nyata Setelah Kampus!” bersama Raditya Dika dan Xaviera Putri. Xaviera menilai tantangan finansial generasi muda kerap muncul bukan semata karena perilaku konsumtif, melainkan karena belum adanya sistem pencatatan arus kas yang sederhana.
“Banyak generasi muda sekarang suka self-reward dan jajan terus, jadi tanpa sadar uangnya cepat habis. Seringnya bukan karena boros, tapi karena belum punya alat yang bisa bantu nyatet cashflow secara rapi,” ujar Xaviera dikutip Sabtu (20/12/2025).
Raditya Dika melihat persoalan ini sebagai tantangan struktural dalam transisi menuju kemandirian ekonomi. “Fondasi finansial itu tetap penting agar generasi muda tetap bisa mengejar mimpi sambil belajar mengelola keuangan,” kata Raditya.
Merespons dinamika tersebut, pelaku industri finansial dan teknologi mulai mengembangkan pendekatan integratif melalui konsep rek-wallet, yang menggabungkan fungsi rekening bank dan dompet digital dalam satu ekosistem. Kolaborasi antara layanan pembayaran seperti OVO dengan platform ekosistem digital seperti Grab dipandang sebagai upaya industri menyesuaikan layanan keuangan dengan pola konsumsi generasi muda yang semakin terfragmentasi.
Pendekatan ini mencerminkan pergeseran strategi sektor keuangan digital, dari sekadar memfasilitasi transaksi menuju upaya memperkuat pengelolaan arus kas harian di tengah gaya hidup serba cepat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ida Umy Rasyidah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement