Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Catatan MBG 2025, DPR Desak BGN untuk Evaluasi Total dan Nol Toleransi Keracunan

Catatan MBG 2025, DPR Desak BGN untuk Evaluasi Total dan Nol Toleransi Keracunan Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sepanjang 2025 menyisakan sejumlah catatan penting yang tak bisa diabaikan.

Berbagai kasus yang muncul, terutama insiden keracunan makanan, dinilai harus menjadi pijakan serius bagi Badan Gizi Nasional (BGN) untuk melakukan evaluasi menyeluruh, bukan sekadar perbaikan parsial.

Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, menegaskan bahwa satu saja korban dari program MBG sudah cukup menjadi alarm bahaya bagi tata kelola program nasional tersebut. Menurutnya, pendekatan kuantitatif yang membandingkan jumlah korban dengan total penerima manfaat tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga: Kontribusi Pendapatan dari MBG Belum Signifikan, Ultrajaya Belum Berani Pasang Target

“Kita tidak ingin kasus keracunan itu dihitung secara persentase. Satu korban saja sudah menjadi sinyal bahaya. Pernyataan yang menolerir itu tidak bisa diterima,” ujar Netty di Bandung, Senin (22/12/2025).

Netty menekankan, langkah pertama yang harus dilakukan BGN adalah evaluasi total dari hulu ke hilir. Evaluasi tersebut, kata dia, tidak boleh berhenti pada laporan administratif, melainkan harus disertai keberanian mengambil tindakan tegas, termasuk penutupan sementara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) jika ditemukan pelanggaran serius.

“Kalau memang perlu ditutup sementara untuk dilakukan perbaikan, lakukan. Jangan ragu,” tegasnya.

Lebih jauh, Netty mengingatkan pentingnya mencegah praktik fraud atau penyimpangan dalam setiap tahapan MBG. Ia mengungkap adanya keluhan masyarakat terkait penerima manfaat yang tiba-tiba hilang karena dialihkan oleh pihak lain.

“Jangan ada fraud mulai dari penentuan titik lokasi SPPG, penetapan penerima manfaat, sampai distribusi. Semua harus transparan dan akuntabel,” ujarnya.

Pengawasan ketat juga harus dilakukan pada pengadaan bahan makanan. Menurut Netty, celah sekecil apa pun dalam proses pengadaan dapat berdampak langsung pada kualitas dan keamanan makanan yang dikonsumsi anak-anak.

Tak kalah penting, peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi keharusan. Mulai dari ahli gizi, kepala SPPG, hingga penjamah makanan harus dibekali pemahaman utuh tentang gizi, pengolahan makanan, pemorsian, hingga pengemasan.

“BGN harus bekerja sama dengan Badan POM dan pihak terkait agar kualitas dan mutu MBG benar-benar terjaga,” katanya.

Dalam konteks anggaran yang besar, Netty juga mendorong keterlibatan aparat penegak hukum. Menurutnya, aspek akuntabilitas menjadi krusial agar tidak terjadi penyimpangan yang justru merusak tujuan utama MBG.

“Tujuan MBG itu jelas: meningkatkan gizi anak, membuka lapangan kerja, dan menggerakkan ekonomi masyarakat. Jangan sampai rusak karena tata kelola yang lemah,” ucapnya.

Netty juga menyoroti tantangan pelaksanaan MBG saat masa libur sekolah. Ia menilai distribusi makanan di luar aktivitas sekolah berpotensi menimbulkan persoalan baru, mulai dari keterbatasan SDM, risiko kontaminasi selama perjalanan, hingga batas waktu konsumsi makanan.

“Kalau anak makan di sekolah, guru bisa mengawasi. Kalau dibawa pulang, kita tidak tahu apa yang terjadi di perjalanan,” katanya.

Ia mengaku hingga kini belum mendapat penjelasan resmi dari Kepala BGN terkait kebijakan MBG saat libur sekolah. Namun, isu tersebut dipastikan akan menjadi bahan evaluasi ke depan.

Baca Juga: Program MBG Dinilai Dorong Pola Makan Seimbang Anak

Selain MBG, Netty turut menyinggung persoalan BPJS Kesehatan, khususnya terkait tunggakan peserta mandiri. Ia menegaskan bahwa mekanisme yang berlaku bukanlah warga mengajukan permohonan pemutihan, melainkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan membayarkan tunggakan langsung ke BPJS Kesehatan berdasarkan data yang dimiliki.

Untuk masyarakat yang berada di luar kategori PBI JKN namun tidak mampu membayar iuran, Netty mendorong pelibatan lembaga zakat dan lembaga filantropi. Ia juga meminta pemerintah memperluas kuota PBI JKN agar mencakup kelompok desil 6 dan 7 yang rentan secara ekonomi.

“Kita dorong agar kuota PBI diperluas. Kalau tunggakan tidak dibayarkan, BPJS Kesehatan akan kesulitan membayar klaim rumah sakit,” pungkasnya.

DPR berharap dengan berbagai catatan tersebut, menjadi momentum perbaikan fundamental, agar program-program strategis negara benar-benar melindungi dan menyejahterakan masyarakat. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: