WE Online, Bogor - Pemerintah sebaiknya terus memfasilitasi dan melindungi para petani, karena hingga kini Indonesia masih tergantung kepada impor pangan, bukan hanya soal pemenuhan bibit tetapi juga produk pangan lainnya seperti beras, garam dan sayuran lainnya.
"Terus terang kami di IPB prihatin melihat kondisi ini karena adanya ketergantungan impor pangan akan menyulitkan kehidupan para petani, dan membuat pemerintah tidak akan bisa menjaga harganya ke tingkat yang wajar," kata Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB)Prof. Dr. Herry Suhardiyanto pada sambutan wisuda tahap IV tahun ajaran 2015/2016 di Bogor, Rabu (20/1/12016).
Untuk mengurangi adanya ketergantungan impor pangan, kata Herry, maka pemerintah perlu menata ulang penyaluran pupuk dan perlindungan varitas bibit unggul nasional. Pupuk subsidi untuk petani harus tepat sasaran, tidak boleh lewat agen atau calo hingga mengakibatkan harganya di tingkat petani menjadi mahal.
"Bagaimana mungkin petani dapat memproduksi dengan harga murah dan bisa bersaing dengan negara lain jika harga pupuknya sudah mahal. Itu tidak ditemukan di negara lain khususnya di kawasan ASEAN".
Herry yang menjabat Rektor IPB kedua kalinya hingga tahun 2017 kembali menegaskan, jika pemerintah serius akan mewujudkan swasembada pangan, maka subsidi pupuk dan bibit untuk petani jangan terlalu pelit. Jumlah subsidi pupuk tahun 2015, hanya sekitar Rp30 triliun terdiri dari subsidi pupuk Rp28 triliun dan sisanya untuk bantuan benih. Pada tahun anggaran ini jumlah APBN bisa mencapai sekitar Rp2.000 triliun, sehingga pantas subsidi untuk pupuk dan bibit harus juga naik jika pemerintah serius akan mewujudkan swasembada pangan.
"Bagaimana mungkin petani Indonesia akan mampu berswasembada pangan jika perhatian pemerintah dan anggota dewan belum optimal dalam menaikkan mata anggarannya," katanya.
Pada kesempatan itu ia juga mengatakan, IPB hingga kini sudah mengeluarkan 133.778 alumni, yang tersebar di berbagai bidang. Bukan hanya sektor pertanian secara luas, tetapi juga banyak yang menyasar pada sektor jasa keuangan lainnya.
"Saya sangat mengharapkan agar alumni IPB dapat memberikan citra positif dan mampu meningkatkan kerja samanya guna kemajuan almamater. Kalian telah menempuh pendidikan di IPB harus mampu berdaya saing secara bermartabat," pesan Herry.
Jangan jadi objek pasar Sementara itu, Dekan Fakultas Ekologi Manusia/FEMA, Dr. Arif Satria menambahkan, tahun ini Indonesia sudah memasuki Kawasan Ekonomi ASEAN/MEA.
"Kita sebaiknya jangan menjadi objek pasar di kawasan ini," tegasnya.
Arif dalam kaitan itu mencontohkan, bidang produk informasi, telepon seluler, Indonesia kini telah dikuasai oleh perusahaan asing seperti Apple dan Samsung. Karena itu pemerintah dan konsumen agaknya tidak lagi mempunyai nilai tawar, keinginan dan harga di tingkat konsumen dikendalikan dan diatur oleh pihak asing.
Hal serupa bisa juga terjadi pada sektor produk pangan. Jika ketergantungan impor pangan tidak segera dicegah, kehidupan masyarakat Indonesia ke depan bukan tambah makmur tetapi justru tambah sulit.
Arif yang pernah terpilih sebagai pemakalah terbaik pada seminar internasional juga memberikan contoh hal mendasar tetapi pemerintah tampaknya tidak memfasiltasi dan melindungi.
"Indonesia itu mempunyai produksi ikan lele berbagai jenis, tetapi karena perlindungan pembibitan kurang, maka ada juga ikan lele impor," katanya seraya menambahkan, bagaimana hal sepele saja bisa tidak tuntas.
Dalam kaitan itu Arif mengatakan, untuk menghadapi MEA, maka pemerintah perlu menetapkan standar mutu produk secara baik agar Indonesia tidak menjadi "sampah" pembuangan produk asing.
"Buah-buah yang dikspor ke Indonesia itu kelasnya C. jika dijual dengan banderol potongan harga 50 persen saja dari harga pokok mereka sudah untung karena jika tidak laku barang itu harus dimusnahkan," katanya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement