WE Online, Pangkal Pinang - Mungkin, jika merenung lebih dalam, tak ada yang lebih menyakitkan dari bencana selain tangis sendu di sela tumpukan kehancuran usai bencana menerjang. Kepiluan itulah yang kini terasa begitu menyeruak di seluruh penjuru Kota Pangkal Pinang.
Ya, air memang sudah surut, media konvensional pun bisa jadi tak lagi deras mengabarkan bencana banjir di Pangkal Pinang. Kenapa perlu ditulis, toh banjir sudah surut?
Rasa pilu yang membubung di tiap sudut Pangkal Pinang itulah yang tak sempat tertangkap mata-mata kamera media. Mereka hanya tahu dari luar rumah korban banjir, bahwa bah sudah surut, mengering. Hanya menyisakan lumpur, mudah untuk dibersihkan. Sudah itu saja.
Namun ternyata, di balik tembok-tembok bata atau malah tembok-tembok kayu yang masih lembab berbau amis tak karuan setelah direndam banjir dahsyat, di Kota Pangkal Pinang ditemukan kepedihan yang tak sederhana. Air bah yang datang menggulung bagaikan tsunami di tengah Kota Pangkal Pinang betul-betul mengagetkan ribuan penduduk Kota. Puluhan tahun banjir tak pernah menghantam separah ini. Akhirnya, kepedihan psikologis teramat dalam, tegurat di mata sendu penduduk Kota Pangkal Pinang.
Bagi mereka yang kaya dan berduit, banjir memang menghilangkan dan merusak barang-barang mereka. Tapi toh barang yang rusak tinggal dibuang, tinggal mengeluarkan lembaran rupiah dengan mudahnya untuk membeli barang pengganti. Ratusan ribu rupiah untuk sebuah kasur baru, jutaan rupiah untuk televisi baru, mesin cuci baru, kulkas baru, semua akan mudah dibeli.
Tapi, lain ceritanya bagi mereka yang hidup dalam kepapaan tiada henti. Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) melihat dan mendata dengan mata kepala sendiri, bisa jadi 90% populasi korban banjir luapan Sungai Rangkui di Kota Pangkal Pinang adalah warga yang termasuk dalam golongan ini. Kehancuran harta benda yang harus diterima sangat betul mengganggu jiwa dan pikiran mereka.
Bayangkan saja, sedikitnya ada puluhan rumah di hari-hari pascabanjir, tampak habis seluruh harta bendanya. Baju hancur, kotor, sobek tak bisa lagi digunakan, lemari kayu tak berbentuk lagi diterjang derasnya bah setinggi genteng rumah.
Jangan tanya bagaimana bentuk kasur mereka, barang wajib yang sudah dipastikan ada di setiap rumah itu basah, lembab, berubah berbau busuk tak bisa lagi digunakan. Mungkin miliaran kuman, bakteri, dan sumber penyakit lain sudah bersarang permanen di sana, terendam air banjir selama lebih dari dua hari itu.
"Kasur terendam semua, dibuang sudah, tak bisa dipakai lagi," ucap Anita sambil mengusap peluh di jeda membersihkan sisa lumpur tebal di dalam rumahnya.
Anita adalah satu dari ribuan warga Kelurahan Pintu Air yang terendam banjir hebat Senin (8/2/2016) silam. Lain lagi dengan Joni, warga Pintu Air yang tinggal persis di gang belakang Posko Kemanusiaan ACT Jalan Mentok, Pangkal Pinang. Di depan rumah Joni yang hancur berantakan, tampak berjejer lima kasur ukuran besar yang basah total terendam air banjir.
Entah, Joni tampak masih ragu mau diapakan lagi kasur-kasur basah dan bau lumpur tersebut. Jika terpaksa dibuang, ia tak mengerti darimana uang untuk membeli kasur-kasur baru. Bahkan, hampir delapan puluh persen barang-barang di rumahnya pun tak berbentuk lagi dihempas banjir. Menjadi onggokan sampah. Kini anak dan istrinya sementara diungsikan ke rumah saudara terdekat, sembari menunggu Joni memutar otak mencari alas tidur yang hangat untuk anak dan istrinya.
Kasur memang jadi kebutuhan paling mendesak bagi warga terdampak banjir di PangkalPinang untuk saat ini. Saat bantuan makanan dan baju-baju layak pakai sudah menumpuk satu hal yang luput bahwa korban banjir Pangkal Pinang ini masih meringkuk di antara dinginnya ubin rumah yang masih lembab dan berbau lumpur.
Butuh ribuan kasur baru untuk menjadi obat penghangat hati dan pikiran, melupakan sejenak derita banjir dalam lelapnya mimpi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement