Pemerintah menaikkan tarif cukai tembakau untuk 2017 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.147/PMK.010/2016.
"Pemerintah menyadari rokok merupakan komoditas yang merugikan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu konsumsinya perlu dibatasi. Kenaikan tarif cukai ini memang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan peredaran rokok," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat jumpa pers di Kantor Pusat Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9/2016).
Dalam kebijakan cukai baru tersebut, disebutkan kenaikan tarif cukai tertinggi sebesar 13,46 persen untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan tarif cukai terendah 0 persen untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang 10,54 persen.
Selain kenaikan tarif cukai, pemerintah juga menaikkan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata 12,26 persen.
Hal utama yang menjadi pertimbangan kenaikan tersebut adalah pengendalian produksi, tenaga kerja, rokok ilegal, dan penerimaan cukai.
Sri Mulyani juga berharap, kenaikan tarif cukai tersebut juga dapat berkorelasi positif dengan penerimaan dari sektor cukai. Pada 2017 ditargetkan penerimaan cukai sebesar Rp149,8 triliun yang merupakan 10 persen dari total penerimaan perpajakan.
"Walaupun ada sedikit penurunan, namun kontribusinya masih cukup signifikan. Artinya pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengamankan kebijakan cukai karena apabila meleset, akan langsung berkaitan dengan APBN yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembangunan nasional," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menuturkan, kebijakan tersebut sudah dibicarakan dengan berbagai pihak terkait, baik pihak yang peduli dengan kesehatan dan lapangan pekerjaan, petani tembakau, maupun asosiasi pengusaha rokok.
Selain itu juga telah dilakukan pertemuan dan diskusi dengan pemerintah daerah, yayasan, dan universitas. Dari pertemuan dan diskusi tersebut, ditarik kesimpulan bahwa kenaikan cukai merupakan langkah yang harus ditempuh dalam rangka pengendalian konsumsi dan produksi.
Namun, kenaikan tersebut harus berimbang sehingga tidak berdampak negatif terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan hidup bagi industri kecil. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: