Apakah Audit Intern Masih Dibutuhkan ataukah Karir yang Memudar?
Judul artikel ini mungkin akan membuat jengkel para auditor intern karena bisa diartikan menggugat eksistensi mereka. Namun, artikel ini hanyalah kelanjutan tulisan sebelumnya Paradigm Paralysis in ERM & Internal Audit.
Tim Leech mengangkat isu penting yang harus direnungi para auditor intern, khususnya yang menjadi chief audit excutive (CAE) atau kepala eksekutif audit intern (di Indonesia lebih populer disebut Kepala Satuan Audit Intern atau Kepala Satuan Pengawas Intern).
Terdapat beberapa indikasi yang harus dicermati oleh CAE terutama yang terkait dengan penurunan kepuasan pengguna jasa audit intern terhadap produk (hasil kerja) dari audit intern. Jika tidak diwaspadai dan dikelola dengan baik maka aktivitas audit intern bisa jadi akan seperti Blackberry atau Nokia yang terkikis dengan produk lain.
Pada tahun 2014, IIA membuat artikel berjudul Enhancing Value Through Collaboration?yang memperlihatkan kenaikan tingkat ketidakpuasan pengguna jasa audit intern. Persentasenya cukup signifikan. Persentase anggota board of directors yang menyatakan jasa audit intern telah memberikan value?signifikan menurun dari 70% pada tahun 2013 menjadi 68% pada tahun 2014, sementara manajemen senior memberikan nilai relatif konstan pada kisaran 44-45%.
Persentasi responden menyatakan auditor intern telah melakukan pekerjaan dengan baik (well perform) pada survei tahun 2004 adalah 64% untuk board of directors, 49% untuk manajemen senior. Survey IIA pada tahun 2016 berjudul Pulse of the Profession juga menunjukkan penurunan. Ini artinya, value produk kerja audit intern tidaklah dirasakan oleh manajemen senior yang lebih berkepentingan pada eksekusi program dan rencana untuk mencapai tujuan bisnis yang ditetapkan dan lebih berkepentingan pada informasi risiko yang harus diketahuinya dan solusi mengatasi risiko dan kelemahan lainnya.
Sebagai tindak lanjut krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika Serikat, pada bulan November 2013 Financial Stability Board (FSB) membuat perubahan radikal pada peran yang dimainkan oleh board of directors, manajemen senior, spesialis risiko, dan audit intern.
Menurut pandangan FSB, semestinya auditor intern harus melaporkan keefektifan proses manajemen risiko termasuk kemampuan kerangka kerja dan metodologi manajemen risiko yang dibangun organisasi untuk mengidentifikasi, menilai, dan memperlakukan risiko serta untuk menyampaikan informasi yang andal tentang risiko kepada board of directors.
Sayangnya, hampir semua audit intern di banyak organisasi di Amerika Serikat masih memegang teguh dalam cara kerja dan pola pikirnya (mindset), yaitu melakukan jasa audit intern untuk menilai keefektifan dan kecukupan pengendalian intern serta jalur komunikasinya ke board of directors. Beruntung di Indonesia jalur komunikasi audit intern adalah ke direktur utama.
Namun, pola pikir dan cara kerja klasik masih melekat. Richard Chamber, Presiden IIA, menyebut tahun 2016 sebagai waktu untuk keluar dari zona nyamannya auditor intern karena auditor intern menurut Richard Chamber harus menjadi agen perubahan. Jika ingin menjadi agen perubahan maka auditor intern harus melakukan perubahan terlebih dahulu.
Deloitte pada tahun 2016 menerbitkan laporan berjudul Deloitte's 2016 Global Chief Audit Executive Survey?yang intinya adalah evolusi atau tidak relevan. Laporan ini mengilustrasikan pandangan yang berkembang bahwa peluang besar (perbaikan) untuk dimanfaatkan oleh auditor intern karena adanya ketidakpuasan pengguna jasa audit intern dengan metode audit intern tradisional.
Pada survei Deloitte antara lain disebutkan audit intern saat ini tidak berdampak dan tidak berpengaruh atas apa yang diinginkan dan dibutuhkan dalam organisasi, pemangku kepentingan mengharapkan auditor intern membuat laporan yang lebih melihat ke depan (forward looking) dan memberikan pemahaman/pemikiran yang lebih mendalam (insight) mengenai risiko, perencanaan strategis, teknologi informasi, dan kinerja.
Menurut Tim Leech, hambatan terbesar perubahan pola pikir dan paradigma adalah realitas dan kelembaman (inertia) atau kelumpuhan paradigma (paradigm paralysis) yang dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan atau penolakan untuk melihat keluar dari model berpikir yang sedang digunakan.
Sebagai suatu wacana, perubahan paradigma ini masih sulit dipahami karena para auditor intern selalu mengacu pada data dan dokumen yang bersifat historis, mencari eksepsi, penyimpangan, atau kelemahan sebagai dasar untuk menilai kecukupan dan keefektifan pengendalian intern.
Auditor intern pun terbiasa melihat risiko melekat yang ada pada proses bisnis yang sedang berjalan atau profil risiko yang dilaporkan oleh kliennya. Selain itu, dimensi auditor intern masih banyak yang bersifat kepatuhan dan keuangan, ataupun berupa pengujian aktivitas pengendalian pada suatu proses bisnis.
Itulah sebabnya, laporan hasil audit intern sering dinilai tidak memberikan value strategis atau dinilai terlambat. Terlebih dengan perkembangan teknologi informasi menyebabkan pengawasan yang lebih kontinyu atas kepatuhan banyak yang digantikan melalui teknologi informasi (continous monitoring) dan pelaksanaan pengawasan rutin kepatuhan serta pemantauan risiko telah banyak diambil alih oleh lini kedua yaitu unit kerja kepatuhan dan manajemen risiko.
Menurut saya, perubahan peran auditor intern dimungkinkan sepanjang (1) tingkat kematangan manajemen risiko suatu organisasi telah mencapai tingkatan yang memadai, (2) peran dan kompetensi lini kedua sudah dapat diandalkan, (3) teknologi, system, dan tool serta cakupan yang digunakan untuk mengawasi risiko operasional dan kepatuhan juga dapat diandalkan.
Jika hal ini dapat dipastikan, audit intern dapat beralih kepada isu-isu yang strategis bersifat atau berdampak kepada organisasi secara sistemik dan komprehensif, memberikan insight dan jasa consulting yang strategis (trusted strategic adviser) guna memberikan nilai yang signifikan (value creation) dari aktivitas audit intern.
Dalam waktu tidak lama profesional audit intern secara dramatis beralih dari audit periodik atau berkala dengan cara manual atau semi-otomasi menjadi continuous audit yang menerapkan teknologi informasi sehingga yang biasanya memakai sampling menjadi 100% populasi, dari yang biasanya memberikan assurance atas data historis untuk kepatuhan dan finansial menjadi memberikan assurance atas risiko-risiko baru yang berkembang, yang biasanya memberikan assurance atas business continuity menjadi memberikan assurance atas business resilience, dari yang bertujuan memberikan assurance dan rekomendasi efisiensi menjadi memberikan rekomendasi perubahan (change) dan inovasi.
Pada kondisi yang penuh tantangan dan ancaman saat ini, sebaiknya CAE introspeksi pada tuntutan (kiritik) dan ekspektasi yang diminta pengguna jasa audit intern dengan mengkaji metodologi yang digunakan, kompetensi dan paradigma para auditornya.
Jika hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin audit intern ? kecuali tidak dilindungi peraturan pemerintah ? dianggap suatu fungsi yang tidak diperlukan lagi dan tidak dilihat kelebihannya lagi seperti beberapa merk dagang yang telah saya tulis di muka.
Di masa depan, audit intern yang paling sukses adalah yang mengalami perubahan dan siap beradaptasi menghadapi tantangan dan risiko baru. Ini membutuhkan pandangan baru atas peran audit intern dan tanggung jawabnya, merusak paradigma lama, dan membuat model baru. Slogannya adalah The Time to Start is Now.
Pendekatan tradisional audit intern tetap diperlukan sebagai value preservation, terlebih jika tingkat kematangan manajemen risiko masih rendah. Namun pada lingkungan bisnis yang volatile saat ini, auditor intern harus mempunyai ide yang lebih inovatif dan melindungi para pemilik kepentingan di organisasi, termasuk pemegang saham.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: