60 Kabupaten di Indonesia Telah Terbitkan Perda Kawasan Tanpa Rokok
Masalah pengendalian tembakau di Tanah Air masih menjadi pertanyaan banyak pihak. Sebagian mengkhawatirkan bonus demografi 2030 yang seharusnya menjadi modal penggerak ekonomi bangsa, justru terancam tak produktif.
Upaya untuk menyelamatkan bonus demografi dari serangan penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok pun semakin gencar dilakukan.
Pada Agustus 2016, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia mengusulkan kenaikan cukai dan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus.
Usulan tersebut sempat "mengguncang" kenikmatan para pecandu nikotin, meski cukai dan harga rokok bukan satu-satunya instrumen dalam kerangka kerja pengendalian tembakau atau "Framework Convention on Tobacco Control" (FCTC) yang direkomendasikan WHO.
Upaya lainnya yang ditempuh adalah melalui Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Hingga kini sudah ada 60 kota/kabupaten di Indonesia menerbitkan Perda KTR, termasuk Kota Bogor.
Kota Bogor boleh jadi menjadi kota pertama di Indonesia yang menelurkan Peraturan Daerah tentang KTR. Keberanian menggagas pengendalian tembakau tersebut telah disiapkan sejak tahun 2002, melalui program "province health project" yang didanai oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Nanik Widiyani yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bidang Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat (PKM) Dinas Kesehatan Kota Bogor, mengusulkan program kesehatan, sosial menyasar generasi muda, terhindari dari bahaya narkoba, seks bebas, dan rokok.
"Usulan pertama kami ditolak oleh Provinsi Jawa Barat, karena kurang spesifik, hingga akhirnya muncul ide untuk membuat kawasan bebas rokok," kata Nani ketika dijumpai beberapa waktu lalu.
Ide kawasan bebas rokok disambut baik, Pemerintah Provinsi mendorong agar program tersebut menghasilkan kebijakan yang mendorong perubahan perilaku dan gaya hidup sehat dengan hadirnya kawasan tanpa rokok (KTR).
Secara "bergerilya", petugas Dinas Kesehatan Bidang PKM menyosialisasikan KTR dari sekolah ke sekolah, dari dinas ke instansi yang berkaitan lainnya, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Pendapatan Daerah, Satpol PP, DLLAJ, dan Kantor Wasbangkin, hingga ke tingkat legislatif.
Audiensi, sosialisasi, rutin dilakukan oleh Nanik, dibantu Kepala Seksi Promosi Kesehatan (Promkes) Junita (Alm) dan staf Promkes, dr Adelia Rahmi. Ketiganya dikenal sebagai Srikandi KTR Kota Bogor.
Di tengah kesulitan meloloskan KTR sebagai kebijakan yang memiliki payung hukum dari tangan legislatif, sejumlah pihak diam-diam mendukung kebijakan tersebut, terutama dari Dinas Pendidikan, dan kalangan guru maupun kepala sekolah.
"Dengan dukungan dari Sekolah dan Dinas Pendidikan, kami optimistis KTR dapat masuk dalam Perda," katanya.
Dukungan juga datang dari Wali Kota Bogor kala itu, Diani Budiarto yang menerbitkan tiga Surat Keputusan (SK) yakni tentang penetapan KTR dan kawasan tertib rokok, SK perlindungan perokok pasif dan SK Tim pembina dan pengawas.
SK Wali Kota mengawal KTR masuk dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Tim pembina dan pengawas, yang digawangi Dinas Kesehatan bebas melenggang melanjutkan program pengendalian tembakau.
Sasaran dari kebijakan ini adalah melindungi perokok pasif untuk mendapatkan udara bebas dari asap rokok, dan mencegah munculnya perokok baru terutama dari kalangan muda.
Fakta sebelumnya dari hasil Survei Sosial ekonomi Daerah (Suseda) Jawa Barat Tahun 2002, Kota Bogor memiliki konsumsi rokok relatif tinggi, yakni 22,51 persen perokok berusia di atas 10 tahun. Dari 22,51 persen tersebut, 68,5 persen nya mengisap rokok tujuh sampai 12 batang per hari.
Ironisnya, 7,22 persen para perokok tersebut merokok pertama kali pada usia kurang dari 10 tahun. Angka tersebut tertinggi dibanding kota dan kabupaten lainnya di wilayah Jawa Barat. Jumlah perokok pria mencapai 57 persen dan wanita 4,7 persen.
Sementara itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) Kota Bogor Tahun 2007, perokok Kota Bogor 29,6 persen. Rata-rata jumlah batang yang dihisap per hari mencapai 8,89 persen.
Rokok memberi pengaruh begitu besar, 20 persen kelompok termiskin di Kota Hujan tersebut membelanjakan uangnya 6,9 persen untuk rokok/alkokol, sedangkan pendidikan 6,4 persen dan kesehatan hanya 2 persen.
Padahal prevalensi penyakit tidak menular di Kota Bogor (Riskesdas) Tahun 2007 menunjukkan hipertensi menempati prevalensi tetinggi yakni 28,4 persen, jatung 12,1 persen, stroke 1,1 persen, tumor/kanker persen, diabets 2,5 persen, dan asma 5,1 persen.
Perjuangan panjang Melalui perjuangan panjang, KTR kembali diusulkan sebagai Perda khusus, terpisah dari Perda Tibum, karena sanksi yang dijatuhkan terlalu berat untuk pelanggar KTR. Tahun 2008, Pemerintah Kota Bogor mengusulkan Perda KTR kepada DPRD setempat.
Perdebatan sengit antar Srikandi KTR dan anggota legislatif tidak terelakkan, karena jumlah perokok di Kota Bogor cukup tinggi, dan hampir semua laki-laki di kota tersebut merokok.
Awalnya, sejumlah anggota legislatif mencoba menggagalkan pasal yang melarang menyediakan tempat khusus merokok di dalam gedung.
Dr Adelia Rahmi, tetap bertahan pasal tersebut tidak boleh hilang. Sesuai standar WHO, KTR harus bebas dari partikel asap rokok.
"Karena ruang khusus rokok dapat memengaruhi survei kualitas udara. Kalaupun ada ruang khusus rokok, harus berada di luar gedung. Tidak di dalam," kata Adelia.
Setelah melalui perdebatan panjang, Perda KTR dapat diloloskan, lewat kata "dapat" yang tertuang pada pasal ruangan khusus merokok.
Anggota DPRD menyetujui kata tersebut, walau faktanya mereka terjebak, karena ruang khusus rokok yang dimaksud, berada di luar gedung, sehingga mau tidak mau mereka tetap sulit untuk merokok dalam ruangan.
Tahun 2009, Peraturan Daerah Nomor 12 tentang KTR disahkan. Kota Bogor jadi kota pertama di Indonesia yang mengesahkan Perda KTR. Sementara DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang mengeluarkan Perda KTR.
Setelah sosialisasi, Wali Kota mengeluarkan Perwali Nomor 7 Tahun 2010 tentang petunjuk teknis Perda KTR.
Gerak Bersama Pada tanggal 27 dan 28 Oktober 2016 Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto tampil dalam forum internasional "The 47th Union World Conference on Lung Health" di Leverpool, Inggris.
Di hadapan 5.000 peserta konferensi kelas dunia tersebut, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga didapuk sebagai ketua perhimpunan wali kota se-Asia Pasifik dalam pengendalian tembakau.
Kesempatan untuk memperkenalkan Bogor di mata dunia sebagai daerah berkomitmen dalam pengendalian tembakau adalah kado atas keberhasilan Kota "Hujan" Bogor karena menerapkan KTR lewat Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan larangan iklan rokok dengan diterbitkannya Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang reklame yang salah satu poinnya melarang iklan, maupun sponsor dari industri rokok.
"Walau bukan satu-satunya daerah yang menerapkan Perda KTR di Indonesia. Tetapi, Kota Bogor dinilai paling berkomitmen menjalankan Perda KTR melalui Tipiring dan larangan iklan rokok," kata Bima.
Kesuksesan Kota Bogor menerapkan Perda KTR didukung semua pihak, penerapan Tipiring yang melibatkan Satgas KTR yang berasal dari sejumlah institusi, dinas dan LSM menjadi modal utama suksesnya Bogor di mata dunia.
Tidak hanya lewat Tipiring, larangan iklan rokok juga kunci keberhasilan mengawal Perda KTR. Tahun 2008 jumlah pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bogor sebesar Rp80.081.219.830, disumbang Rp3.001.648.836 dari pajak reklame rokok yang berjumlah 372 lokasi.
Dari tahun 2008, Pemerintah Kota Bogor mulai menghentikan izin iklan rokok, tidak menerbitkan izin baru maupun perpanjangan.
Tahun 2009, jumlah iklan rokok turun menjadi 262 lokasi dan menyumbangkan pajak reklame sebesar Rp2.822.588.211. Total PAD meningkat menjadi Rp102.447.491.431.
Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, Daud Nedo Darenoh mengungkapkan, sejak 2013 jumlah iklan rokok sudah dihapuskan, hingga tahun berikutnya. Dan terbukti, PAD terus meningkat setelah reklame rokok dihentikan. Tahun 2015, total PAD sebesar Rp637.626.948.446.
"Reklame rokok tidak menyumbang signifikan untuk PAD dari pajak reklame. Seluruh dinas memahami ini, sehingga mendukung larangan iklan rokok, dan komitmen kepala daerah yakni Wali Kota," kata Daud.
Jalan panjang nan berliku mewarnai perjalanan Perda KTR di Kota Bogor. Tantangan dan peluang terus dihadapi.
Larangan iklan rokok masih menjadi tantangan berat, ketika industri rokok bergerilya mempromosikan barang dagangannya dengan cara-cara ilegal, seperti memasang spanduk tanpa izin.
Bahkan mereka rela membayar pemilik warung sebesar Rp300 ribu untuk memasang spanduk sebagai pelindung hawa panas.
"Kucing-kucingan" pun terjadi antara petugas Dispenda dan agen rokok untuk menertibkan iklan rokok yang menyasar masyarakat lapisan bawah. Para pemilik warung yang memasang spanduk iklan rokok berdalih belum mengetahui adanya larangan iklan rokok di Kota Bogor.
"Perda KTR wajib diimplementasikan ke semua kawasan KTR. Bogor kerap jadi studi banding KTR, malu jika upayanya setengah hati," kata Ketua Aliansi Masyarakat Antir Rokok (AMAR) Ace Sumanta. (Ant/Laily Rahmawati)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto