Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dampak Kemitraan Transpasifik Layu Sebelum Berkembang (I)

        Dampak Kemitraan Transpasifik Layu Sebelum Berkembang (I) Kredit Foto: Salon.com
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Presiden RI Joko Widodo saat berkunjung ke Amerika Serikat pada Oktober 2015, pernah menyatakan ketertarikannya untuk bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) kepada Presiden AS, Barack Obama.

        Namun, pada saat ini, Pemerintah Indonesia menyatakan akan menghentikan rencana keikutsertaan dalam perundingan Kemitraan Trans Pasifik (TPP), setelah Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika menarik diri dari negosiasi tersebut.

        Menurut Deputi Sekretariat Wapres Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Dewi Fortuna Anwar mengatakan usai kunjungan kehormatan Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph R Donovan di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (25/1), bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia tidak akan menindaklanjuti rencana bergabung dengan TPP.

        Terkait dampak penarikan diri AS terhadap kerja sama dengan Indonesia, Dewi mengatakan Indonesia baru tertarik untuk bergabung dengan TPP karena melihat adanya peluang untuk berkompetisi di pasar yang lebih luas, oleh karena itu posisi Indonesia masih menunggu posisi negara-negara lain terkait kerja sama perdagangan regional tersebut.

        Mundurnya pemerintah RI dari ketertarikan untuk mengikuti TPP terutama terpicu dari Presiden AS yang baru, Donald Trump, yang setelah dilantik segera mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan AS dari TPP. Donald Trump melakukan hal itu untuk menepati janji kampanye yang telah dicetuskannya pada masa pemilu tahun lalu.

        Akibatnya, Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland pada Selasa (24/1), mengatakan TPP tidak bisa diteruskan jika Amerika Serikat tidak ikut serta di dalamnya. "Perjanjian ini sudah dibuat sedemikian rupa sehingga hanya bisa diberlakukan jika Amerika Serikat juga meratifikasinya," kata Menlu Freeland kepada para wartawan di Calgary, sebagaimana dikutip kantor berita Reuters.

        TPP itu sendiri merupakan perjanjian perdagangan antara ke-12 negara di lingkup Pasifik. Selain Amerika Serikat, negara lainnya adalah Australia, Brunei Darussalam, Chile, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.

        TPP itu sendiri telah ditandatangani di Auckland, Selandia Baru, pada tanggal 4 Februari 2016 setelah perwakilan antarnegara itu melakukan tujuh tahun negosiasi.

        Tujuan dari TPP, berdasarkan 30 bab dalam perjanjian tersebut adalah mempromosikan pertumbuhan ekonomi, mendukung penciptaan lapangan kerja, meningkatkan inovasi, produktivitas dan daya saing, menaikkan tingkat kesejahteraan penghidupan, mengurangi kemiskinan, mempromosikan transparansi, dan tata kelola pemerintahan yang baik, serta meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan lingkungan.

        Dalam prinsip teknisnya, TPP seperti halnya perjanjian bebas lainnya, adalah berisi perihal menurunkan tarif bea masuk perdagangan, serta membuat mekanisme penyelesaian perselisihan antara investor dan negara.

        Apresiasi Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengapresiasi Pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan tidak tertarik lagi dan mengurungkan niatnya untuk turut serta dalam perjanjian dagang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).

        Heri Gunawan menyatakan apresiasinya terhadap pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo karena bergabung dengan TPP dinilai merupakan kekeliruan besar yang bertentangan dengan ekonomi kerakyatan yang dianut Indonesia.

        "Bergabung dalam TPP sama saja melayani kepentingan korporasi besar dan orang-orang kaya. Ini jelas bertentangan dengan jalan kerakyatan yang selama ini dikobarkan," tuturnya.

        Politisi Partai Gerindra itu juga berpendapat TPP mengancam kepentingan nasional, karena ada skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat. "Bahkan, TPP disebut-sebut lebih progresif karena mencakup isu-isu WTO-plus," ujar Heri.

        Menurut dia, dengan keluar dari TPP, berarti pemerintah telah menyelamatkan bangsa besar ini dari skenario yang sangat merugikan. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa Indonesia bisa berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut.

        "Indonesia harus memelopori usaha yang mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus pada upaya-upaya kerja sama ekonomi dalam kerangka ASEAN," tegas Heri.

        TPP dinilai Heri sebagai alat politik dan ekonomi AS yang tidak lain merupakan intervensi penguasaan korporasi atas berbagai sektor kehidupan manusia dan warga masyarakat suatu negara.

        Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani juga menegaskan, tanpa adanya AS dalam TPP, Indonesia seharusnya tak lagi membahas rencana untuk bergabung dalam perjanjian tersebut.

        "Kita tidak usah bahas itu lagi. Amerika saja keluar, untuk apa lagi kita ikut TPP?" ujarnya usai mengisi acara dialog terbuka bertema "Kebijakan Ekonomi, Bisnis, dan Politik AS dibawah Presiden Trump: Pengaruhnya terhadap Indonesia" di auditorium Centre for Strategic and International Studies, Jumat (27/1). (Ant/Muhammad Razi Rahman) BERSAMBUNG

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Sucipto

        Bagikan Artikel: