Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan BI (PBI) Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank (PBI KPPK/Ketentuan Penerapan Prinsip Kehati-hatian) meminta semua korporasi nonbank untuk mengelola utang luar negeri (ULN) secara baik.
Ada tiga hal yang diminta BI kepada korporasi nonbank yang memiliki ULN. Pertama, BI meminta mereka untuk menerapkan rasio lindung nilai/hedging guna memitigasi risiko currency mismatch. BI menetapkan 25 persen dari sisi negatif antara aset valas minus kewajiban valas harus di-hedging.
Kedua, menurut Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo, adalah rasio likuiditas, yakni rasio antara total aset valuta asing (valas) terhadap kewajiban valas jangka pendek minimal sebesar 70 persen.
"Ini agar risiko kalau likuditas valas oleh debitur tidak mencukupi (liquidity mismatch)," ujar Dody dalam konferensi pers soal PBI KPPK di Gedung BI, Jakarta, Selasa (7/3/2017).
Sedangkan yang ketiga, untuk memitigasi risiko overleverage, BI menerapkan kredit rating di mana korporasi nonbank yang ingin melakukan pinjaman luar negeri harus memiliki peringkat utang minimum BB-.
"Dia harus dapat kredit rating bisa si debitur atau surat utangnya harus ada peringkatnya minimal BB- yang memberikan bisa rating domestik atau luar negeri masih bisa memilih," ucapnya.
Namun sayangnya, dari ketiga pokok aturan itu masih banyak perusahaan yang belum menerapkan kredit rating. Padahal kewajiban kredit rating?ini sudah diterapkan sejak awal tahun 2016 lalu.
BI mencatat dari 2.700 korporasi non bank wajib lapor (ULN) hanya 94,7 persen atau 2.557 yang sudah melaporkan ULN. Dari total itu, hanya 2.527 perusahaan yang sudah melakukan lindung nilai (hedging). Sementara?yang telah memenuhi rasio likuiditas sebanyak 86 persen atau 2.322 perusahaan. Kemudian?dari 538 korporasi yang wajib penuhi ketentuan kredit rating sebanyak 132 korporasi sudah penuhi ketentuan sepanjang 2016 dan di kuartal 4 2016 saja ada 27 persen yang penuhi kredit rating atau 145 korporasi.
"Implementasi kredit rating masih ada room yang perlu diperkuat lagi dari sisi pelaporannya. Ada swasta yang pinjam ULN belum comply untuk meminta kredit rating kepada lembaga pemeringkat. Rata-rata tingkat kepatuhannya baru 27 persen, jadi sekitar 73 persen masih belum lakukan kredit rating. Padahal ini mandatori peraturan yang tujuannya tidak overleverage," jelas Dody.
Dia menilai masih rendahnya korporasi yang menerapkan kredit rating lebih disebabkan masalah sosialisasi ketentuan sehingga banyak perusahaan yang menganggap kredit rating bukan mandatory.
"Enggak apa-apa kami akan lihat progresnya yang penting BI sampaikan secara aktif hal ini. Saya yakin ke depan akan naik. Kalau kami lihat debiturnya perusahaan asing lalu tidak dapat rating?lalu dapat teguran dari BI, itu catatan record yang kurang baik bagi mereka. Makanya mereka akan comply," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: