Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Suku Bunga The Fed Naik, Apa Implikasi untuk Indonesia?

        Suku Bunga The Fed Naik, Apa Implikasi untuk Indonesia? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat sebesar 25 basis poin didahului oleh keluarnya angka surplus neraca perdagangan Indonesia dan berbarengan dengan hasil pemilu di Belanda. Apa implikasinya untuk Indonesia?

        Pertama, terkait angka neraca perdagangan bulan Februari 2017. Surplus neraca perdagangan kita, walaupun angkanya turun dibanding bulan Januari, secara umum masih menunjukkan bahwa ekspor neto masih akan berperan terhadap stabilitas neraca pembayaran, terhadap stabilitas rupiah, dan pertumbuhan ekonomi di 2017.

        Sebagai bagian dari asumsi pertumbuhan PDB di 2017 yang kami perkirakan akan mencapai angka 5,1%, saya memperkirakan total surplus neraca perdagangan di 2017 akan mencapai US$7,5 miliar. Selama dua bulan pertama di 2017 angka surplus neraca perdagangan sudah mencapai lebih dari US$2,5 miliar alias lebih tinggi dari ekspektasi.

        Harus diakui, dengan melihat running-rate ekspor bulanan selama lima bulan terakhir tampaknya kondisi eksternal memang masih belum mencapai tingkat di mana kita bisa berharap adanya pertumbuhan ekspor yang jauh lebih tinggi. Namun demikian, secara umum, paling tidak dilihat dari konteks pertumbuhan ekonomi dan stabilitas kurs rupiah, saya menilai positif angka neraca perdagangan bulan Februari tersebut.

        Kedua, terkait hasil pemilu di Belanda yang dimenangkan oleh PM Mark Rutte. Menarik untuk dicatat bahwa tingkat partisipasi pemilih di Belanda mencapai di atas 80% dan itulah yang antara lain menyebabkan tingginya hasil perolehan suara untuk Partai Liberal pimpinan PM Mark Rutte.

        Dengan menilik episode pergerakan/perubahan angin politik di Eropa kontinental selama 15-20 tahun terakhir, analis politik cenderung melihat Belanda sebagai leading indicator dari arah perubahan angin politik di Eropa dan bila kita menganggap hasil pemilu Belanda di mana kalahnya Wilders sebagai pertanda preferensi politik masyarakat Eropa terhadap keterbukaan (alias politik non-populis) maka kita masih punya harapan bahwa politik keterbukaan mungkin akan juga menang di Perancis dan Jerman.

        Harapan akan menangnya politik non-populis punya implikasi besar terhadap stabilitas sektor finansial karena preferensi politik Belanda, Perancis, dan Jerman (ketiganya dianggap sebagai Eurozone core countries) jelas punya pengaruh terhadap masa depan mata uang Euro yang pada gilirannya akan berimplikasi luas terhadap konstelasi dan keseimbangan mata uang dunia. Termasuk di dalamnya adalah nasib rupiah. Artinya, kemenangan PM Mark Rutte di Belanda adalah berita baik untuk mata uang emerging market, termasuk rupiah.

        Ketiga, tadi malam The Fed menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25bps. Naiknya suku bunga acuan Amerika Serikat sudah diantisipasi oleh pelaku pasar. Sejak dua minggu lalu pasar sudah melihat probabilita naiknya Fed funds rate sebagai keniscayaan. Sebagai bagian dari antisipasi pasar, USD Libor telah bergerak naik secara gradual.

        Yang menarik, walaupun USD Libor bergerak naik, indeks dolar (dikenal dengan kode DXY) tetap berkisar dikisaran 101-103. Akibatnya, pasar tidak mengantisipasi adanya perubahan ekstrem dalam nilai mata uang. Hal yang sama terjadi dalam mata uang euro. Euro Libor terus bergerak turun namun indeks mata uang Euro tetap berkisar di kisaran 1,04 ? 1,07.

        Ini mengindikasikan bahwa pasca-kenaikan Fed funds rate, kurs rupiah tampaknya berpotensi relatif stabil dengan pola pergerakan granular yang lebih ditentukan oleh fundamental. Maknanya, mungkin rupiah akan tetap berada di kisaran yang kita lihat selama dua bulan terakhir.

        Yang juga menarik, kenaikan Fed funds rate tadi malam ternyata diikuti oleh turunnya yield dari US Treasury dan naiknya indeks komoditi. Turunnya yield di US Treasury menyebabkan yield obligasi Indonesia menjadi relatif stabil pada kisaran 7,2-7,4%. Naiknya indeks komoditi, di sisi lain, jelas menguntungkan ekspor Indonesia dan menguntungkan mata uang negara-negara penghasil komoditas (termasuk didalamnya Indonesia).

        Ke depannya, saya memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp13.300-13.600. Yield obligasi 10-tahun juga akan tetap berada di rentang 7,3-7,6% dengan kemungkinan turun ke arah 7,1% bila pada bulan Mei 2017 Indonesia dianugerahi dengan investment grade rating oleh S&P.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: