Dewan Minyak Sawit Nasional sebagai pelaku industri kelapa sawit mendukung Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut meski berharap regulasi tersebut diterapkan hanya untuk investor baru.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (31/5/2017), mengatakan pembukaan lahan dengan cara dibakar sudah dilakukan sejak 1985-an karena itu adalah metode paling murah dan mudah.
Namun sejak pemerintah mengeluarkan peraturan larangan pembakaran hutan gambut, perusahaan-perusahaan sawit mematuhinya.
Menurut dia, justru yang lebih banyak membuka lahan dengan cara dibakar adalah individu-individu yang ingin membuka lahan baru.
"Sebenarnya industri sawit di lahan gambut itu sudah menginjak generasi ketiga. Selama ini tidak ada masalah. Kalau perusahaan tidak pernah lagi membakar (lahan) sejak dilarang pemerintah," katanya.
Selaku pelaku industri kelapa sawit, Sahat mendukung langkah Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto yang telah berkirim surat kepada Presiden Jokowi agar dilakukan revisi PP 57/2016 tentang perlindungan lahan gambut.
Namun, ia menilai peraturan tersebut akan mengendurkan iklim investasi perkebunan kelapa sawit yang sudah berjalan "on the track" sejauh ini.
Para pelaku usaha terutama yang sudah lama melakukan investasi lama di sektor kelapa sawit dan hutan tanaman industri dikatakan Sahat membutuhkan kepastian hukum dalam berinvestasi.
"Langkah (Menperin) sangat tepat. Supaya ada kepastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha. Orang kalau sudah datang (investasi) harus ada kepastian agar tidak berlaku surut. Kalau sudah melakukan penanaman sesuai dengan perizinan, kenapa harus disalahkan," katanya.
Oleh karena itu, ia berharap aturan tersebut hanya berlaku bagi bagi investor baru untuk memenuhi target Indonesia sebagai produsen pulp nomor enam di dunia dan nomor satu di Asia serta mempertahankan produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia.
Data menunjukkan, posisi kontribusi industri kertas dan pulp tahun 2016 yang menyumbangkan ekspor-devisa sebesar 5 miliar dolar AS, pajak dan penghasilan negara bukan pajak (PNBP) Rp42,5 triliun dan memberikan lapangan kerja kepada kurang lebih 1,49 juta orang.
Sementara industri kelapa sawit pad 2016 menyumbangkan pemasukan ekspor-devisa sebesar 19,6 miliar dolar AS, pemasukan pajak dan PNBP sebesar Rp79,5 triliun dan memberikan lapangan kerja kepada kurang lebih 5,3 juta orang.
Capaian tersebut membuat status Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit nomor satu dunia dan merupakan produsen kertas nomor enam di dunia, serta produsen pulp nomor sembilan di dunia atau nomor tiga di Asia.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakam pendapatan ekspor dari industri kelapa sawit terus menanjak tiap tahun meskipun harga kelapa sawit dunia mengalami fluktuasi.
Selain itu, industri kelapa sawit dan industri kertas-pulp menyerap tenaga kerja yang banyak karena tidak hanya menjual bahan baku semata.
"Kita kan tidak hanya bahan baku, makanya industri kecilnya juga berkembang. Ada jual sabun, kosmetik, minyak goreng kemasan, macam-macamlah," katanya.
Di sisi lain, pelaku usaha mengingatkan akan dampak dari regulasi gambut terhadap perekonomian negara karena jika peraturan itu tetap berlaku, areal Hutan Tanaman Industri (HTI) akan berkurang sehingga potensi pungutan pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan tenaga kerja akan menyusut.
Belum lagi akibat tidak sinkronnya PP 57 Tahun 2016 dengan peraturan menteri turunannya akan menunjukkan adanya kontraproduktif dengan semangat pemerintah yang ingin mengenjot investasi.
Padahal, salah satu alasan investor menanam modal adalah kepastian berusaha yang dalam sektor perkebunan kelapa sawit adalah jaminan jangka waktu pengelolaan hak guna usaha (HGU).
"Jika aturan itu tetap berlaku, areal HTI bakal berkurang, sehingga potensi pungutan pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan tenaga kerja akan menyusut," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Iman Santoso.
PP 57 Tahun 2016 mewajibkan 30 persen konsesi kehutanan dan perkebunan bergambut ditetapkan sebagai zona ekosistem gambut fungsi lindung.
Konsekuensinya, pemegang izin tidak lagi dibolehkan menggarap lahan setelah masa daur tanaman habis. Namun, pengelola kebun tetap diwajibkan menjaga lahan tersebut sampai izin berakhir.
Jika industri usaha kehutanan dan perkebunan terganggu iklim investasinya, maka akan mengakibatkan berhentinya operasional industri akibat tidak adanya kepastian usaha, sehingga bermuara pada penurunan peringkat/rating investasi Indonesia saat ini atau berpotensi turun menjadi di bawah "investment grade". (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: