Riuh rendah percakapan santri di pojokan kobong (asrama santri di pesantren) menyambu suasana berbuka puasa di Pondok Pesantren As Salaf, di Kampung Ciganea Desa Mekargalih Kecamatan Jatiluhur Kabupaten Purwakarta.
Nasi liwet sudah terpapar di daun pisang dan siap disantap. Suara adzan Maghrib bersahut-sahutan dari mesjid-mesjid tidak jauh dari pesantren. Sedangkan di mesjid itu, suara adzan maghrib cukup ditandai dengan tabuhan bedug dan adzan tanpa pengeras suara di dalam mesjid di komplek pesantren.
Sejak 1960, mesjid di pesantren itu konsisten tidak pernah menggunakan pengeras suara. Saat adzan, cukup muadzin yang mengumandangkan adzan tanpa pengeras suara.
"Kami istiqomah sampai kapanpun mesjid ini tak akan menggunakan pengeras suara," kata KH Hasan Basri, pengurus pesantren tersebut kepada Warta Ekonomi, Sabtu (3/6/2017).
Pesantren itu didirikan oleh bapaknya, KH Idris Khudori sekitar 1960. Sejak didirikan, mesjid tak pernah menggunakan pengeras suara. Sepeninggal bapaknya, salah satu warisan yang harus dilaksanakan yakni tidak boleh menggunakan pengeras suara.
"Kata orang tua tidak boleh. Kalau alasannya diterjemahkan saat ini, adzan menggunakan pengeras suara tidak terlalu penting karena banyak mesjid lain yang sudah menggunakan pengeras suara dan suara adzannya terdengar hingga kesini," kata Hasan.
Kumandang adzan tanpa menggunakan pengeras suarapun kata dia, tidak mengurangi makna dan nilai ibadah dari adzan itu sendiri.
"Orang sudah tahu waktunya adzan kapan. Lalu sekarang tiap mesjid pakai pengeras suara, mohon maaf, kadang semuanya adzan menggunakan pengeras suara, suaranya jadi gaduh. Jadi, kami memilih suasana tenang dan adem saja di pesantren ini," katanya.
Pondok pesantren ini juga menjunjung toleransi dengan tidak menggunakan pengeras suara untuk setiap aktifitas keagamaan. "Di keraskan suaranya pakai speaker mau riya, kan takutnya ada orang sakit malah jadi kena bising. Bertoleransi juga sama tetangga," kata Hasan.
Mesjid As Salaf inipun bentuk arsitekturnya tidak menyerupai mesjid pada umumnya yang memiliki khubah dari tembaga. Mesjid ini layaknya rumah biasa.
"Ah enggak pakai kubah juga kan tidak mengurangi ibadah, dari dulu sejak zaman orang tua memang tidak boleh pakai kubah. Cukup begini saja mesjidnya," ujar Hasan.
Salah satu santri, Irwansyah (45) asal Tangerang Selatan sudah berada dua tahun di pesantren ini. Menurutnya pesantren ini cukup unik karena mempertahankan tradisi leluhur tanpa harus mengurangi nilai ibadah.
"Dulu kan ada ramai-ramai soal pengaturan pengeras suara mesjid, nah di pesantren kami mah sudah dari dulu aktifitas keagamaan tanpa pengeras suara," ujar Irwan.
Menurutnya, itu bermanfaat untuk mengajarkan rasa tenggang rasa dan toleransi. "Kami di pesantren terbiasa dengan suasana hening dan adem," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Angga Nugraha
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: