Sejumlah pakar lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris, yang merupakan kesepakatan global bersejarah dalam memerangi perubahan iklim sebagai sikap yang tidak adil.
"Sebenarnya tidak masalah Amerika keluar dari Perjanjian Paris, tapi jadinya tidak adil," kata Guru Besar Perlindungan Hutan, Divisi Perlindungan Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Prof Bambang Hero Saharjo di Kampus IPB Baranangsiang Minggu (4/6/2017).
Bambang mengatakan, Amerika merupakan negara industri terbesar yang menghasilkan cukup besar emisi dari sektor industrinya.
"Tetapi, kita sepakat dengan Prancis yang tetap akan memperjuangkan upaya pengendalian pemanasan global tanpa ada Amerika," katanya.
Menurutnya, keluarnya Amerika dari Perjanjian Paris sangat tidak beretika, karena sebagai negara penyumbang emisi terbesar harusnya bertanggungjawab. "Kita tidak tau proses penanganan global warming seperti apa, apakah ada perubahan, sehingga upaya pengendalian pemanasan global bisa terus berjalan," kata Bambang.
Sementara itu, Prof Cecep Kusmana, dari Fakultas Kehutanan IPB berpendapat Indonesia dapat memainkan undang-undang dalam upaya penyelamatan lingkungan mencegah pemanasan global pascakeluarnya Amerika.
"Undang-undang Indonesia sudah ada, yang mengatur hak atas lingkungan yang baik. Jadi Amerika mau keluar silahkan saja," kata Cecep.
Menurut Cecep, Amerika memiliki hak karena perjanjian tersebut tidak mengikat. Dan keputusan Presiden Donald Trump menarik Amerika dari Perjanjian Paris tidak akan mempengaruhi pendanaan dalam upaya penyelamatan lingkungan di negara berkembang termasuk di Indonesia.
"Dana Indonesia cukup banyak. Tinggal mau untuk menerapkannya, kita harus mampu mengupayaannya, dan Indonesia sangat mampu," katanya. (ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: