Pemerhati anak Seto Mulyadi menganalogikan media sosial ibarat dua sisi mata uang di mana bisa memberikan manfaat bagi penggunanya namun di sisi lain bisa memberikan dampak buruk. Apalagi belakangan ini media sosial menurutnya banyak disalahgunakan oleh anak remaja.
"Kami sangat prihatin memang media sosial disalahgunakan. Sering dikatakan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat dan banyak permasalahan psikologis banyak keluarga berantakan dan sebagainya," kata pria yang biasa disapa Kak Seto di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2017).
Atas dasar itu, Kak Seto turut mengapresiasi langkah MUI mengeluarkan fatwa muamalah melalui media sosial. Fatwa ini diharapkan mampu mengubah media sosial menjadi ramah anak.
"Jadi dengan fatwa MUI ini KPAI menghaturkan terima kasih dan memberi dukungan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Menkominfo juga selalu berkoordinasi mudah-mudahan media sosial menjadi sahabat anak dan ramah anak. Jadi, kita kontrol bersama melalui media sosial dipopulerkan kembali kegiatan-kegiatan zaman dahulu seperti mendongeng, permainan tradisional, dan sebagainya yang mengakrabkan mereka," tuturnya.
Kepada pemerintah, Kak Seto menyarankan supaya ada satgas anak di tingkat RT/RW di mana orang tua bisa menjadi sahabat anak begitu juga dengan polisi, guru, mapun ulama.
"Dan nanti pada tanggal 23 Juli kami mengampanyekan presiden dan menteri jadi sahabat anak," tandasnya.
Diberitakan, sebelumnya MUI mengharamkan pengguna media sosial melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.
"Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan," kata Sekretaris Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh.
"Ditambah menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat atau waktunya," lanjutnya.
Asrorun menjelaskan amimah merupakan adu domba antara satu dengan yang lain dengan menceritakan perbuatan orang lain yang berusaha menjelekkan yang lainnya kemudian berdampak pada saling membenci. Sementara itu, Ghibah adalah penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukainya.
"Fitnah di media sosial berisi informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)," terang Asrorun.
MUI juga mengharamkan tindakan memproduksi, menyebarkan, atau membuat konten informasi yang tidak benar kepada masyarakat. Selengkapnya, Asrorun merinci apa saja yang diharamkan bagi penyelanggara media sosial. Berikut penuturannya.?
Memproduksi, menyebarkan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain, atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar?i.
Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
Aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Dina Kusumaningrum
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: