Keputusan Pemerintah untuk membuka kembali ekspor bijih nikel disayangkan oleh pelaku usaha, salah satunya diungkapkan oleh PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Pasalnya, perseroan memandang jika bijih nikel Indonesia begitu berharga dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.
"Hal ini tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri," ujar Direktur Utama Vale Nico Kanter, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/8/2017).?
Padahal, sebelumnya pemerintah sudah melarang ekspor mineral mentah pada 11 Januari 2014 untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. Menurutnya, dengan keputusan pemerintah untuk mengizinkan ekspor sebesar 8 juta ton dalam kurun waktu kurang lebih 7 bulan semakin membuat harga nikel makin terperosok. Pihaknya pun mengkhawatirkan jika nantinya akan ada lebih banyak lagi volumen ekspor bijih nikel yang diizinkan hingga lima tahun ke depan.?
"Jika dihitung, jumlah ekspor yang sebanyak 8 juta ton itu sekitar 4 persen dari suplai nikel dunia. Walaupun realisasi ekspor saat ini masih rendah, namun pasar telah memperhitungkan jumlah tersebut dalam menghitung suplai bijih nikel dunia," terangnya.?
Nico menyebutkan bahwa saat ini harga nikel sedang dalam posisi sangat rendah. Sekitar 25 persen produser nikel di dunia sekarang beroperasi dengan arus kas negatif. Vale sendiri masih dapat mempertahankan arus kasnya, walaupun membukukan kerugian sebesar US$21,5 juta pada 6 bulan pertama tahun 2017.?
Sebelum pemerintah menerbitkan aturan mengenai relaksasi ekspor tambang mentah, para analis internasional memprediksi harga nikel tahun 2017 di kisaran US$11.000-US$12.250 per ton. "Namun setelah diterbitkannya aturan tersebut, para analis merevisi prediksi harga nikel pada kisaran US$ 9.800-10.300 per ton," ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi
Tag Terkait: