Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron menilai pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) memerlukan payung hukum yang lebih kuat.
"DPR bersama pemerintah perlu menyiapkan payung hukum yang lebih kuat bagi pengembangan EBT serta secara paralel menyiapkan regulasi turunan dari UU seperti PP, perpres, dan permen untuk implementasi UU tersebut," katanya dalam diskusi publik menjelang Munas Ke-10 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, Kamis (10/11/2017).
Menurut dia, urgensi payung hukum EBT yang lebih kuat adalah saat ini Indonesia masih mengandalkan energi dari fosil yang tidak terbarukan dan kian hari akan habis.
Di sisi lain, lanjut politisi Partai Demokrat, yang akrab disapa Hero itu, kebutuhan energi akan terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi.
Pertimbangan lain, katanya, adalah Indonesia memiliki potensi EBT seperti panas bumi, air, surya, biofuel, dan angin yang melimpah, namun belum termanfaatkan dengan optimal.
Di samping juga, menurut dia, tuntutan pemanfaatan energi, yang ramah lingkungan, secara global makin meningkat seiring kesadaran dunia menjaga kelestarian lingkungannya, sehingga pengembangan EBT makin relevan.
Hero menambahkan saat ini payung hukum yang dimiliki baru berbentuk PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang menyebutkan target bauran energi dari EBT sebesar 23 persen pada 2025 daan 31 persen pada 2050.
Sementara itu, pembicara lain, mantan Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan pengembangan EBT merupakan keharusan.
"Kekuatan EBT adalah wujud kedaulatan energi yang berkelanjutan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengembangkannya dari sekarang," katanya.
Menurut dia, saat ini, dari kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 60.148 MW, hanya 8.900 MW yang bersumber dari EBT.
Dengan demikian, lanjutnya, kontribusi EBT dalam bauran pembangkit listrik hanya dua persen. "Padahal, Indonesia mempunyai potensi EBT untuk pembangkit sebesar 441,7 GW," katanya.
Sudirman menambahkan pengembangan EBT menjadi sulit dikarenakan adanya "vested interest", politik populis, dan cara pandang myopic.
"Oleh karena itu, perlu adanya integritas, konsistensi, dan kompetensi dalam mengembangkan EBT agar benar-benar bisa terwujud kedaulatan energi yang berkelanjutan," katanya.
Sedangkan, Ketua Komite 2 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Parlindungan Purba sepakat perlunya menyusun kebijakan yang fokus pada pengembangan EBT.
Menurut dia, saat ini, DPR sedang dalam proses penyusunan RUU Energi Terbarukan.
Ia juga mengatakan perlunya mendorong investasi energi terbarukan dengan mewujudkan kepastian iklim usaha dan pemberian insentif pada tarif, kredit pajak, dan sertifikat hijau.?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil