Persoalan yang dihadapi para nelayan di Nusa Tenggara Timur, tidak hanya pada masalah cuaca yang memicu terjadinya gelombang besar serta tiupan angin yang kencang yang mengakibatkan armada mereka harus parkir. Namun, hal kecil yang dinilai cukup mengganggu perjalanan hidup mereka adalah ketika para nelayan kesulitan mendapatkan umpan hidup.
Umpan hidup berupa ikan-ikan kecil ini, bukan persoalan mudah, karena hampir dalam semusim mereka tidak bisa melaut karena ketiadaan umpan hidup tersebut. Para nelayan cakalang atau lebih populer dengan sebutan pole and line?sering mengalami hal seperti itu.
"Ini persoalan utama yang saban tahun dihadapi nelayan cakalang di Kota Kupang," ujar Abdul Wahab Sidin (50), bagian humas dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang.
Ketika tiba musim paceklik atau saat tibanya angin barat, pasokan ikan jenis tembang untuk umpan hidup dari kapal-kapal bagan sudah mulai melemah.
"Nelayan cakalang tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi ini, dan ujung-ujungnya yah kapal terpaksa diparkir sampai adanya pasokan umpan hidup," kata Wahab yang bermarkas di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tenau Kupang.
Jumlah kapal pole and line?bertonase 30 GT yang bermarkas di sekitar Kota Kupang sendiri mencapai sekitar 23 kapal yang dalam kesehariannya menangkap jenis-jenis ikan seperti cakalang, tuna, plagis besar, dan belang kuning.
Semua kapal tersebut mengandalkan pasokan umpan hidup dari kapal-kapal bagan yang melaut di perairan sekitar Teluk Kupang maupun di sekitar perairan Pulau Semau. Akibatnya, ketika pasokan umpan hidup melemah, para nelayan cakalang selalu dilanda keresahan karena waktu panen ikan yang ideal berlangsung sekitar enam bulan menjadi hanya tiga bulan.
"Kondisi ini sangat berdampak pada kurangnya produktivitas hasil tangkapan," kata Wahab dan menambahkan dalam kondisi tidak melaut, para nelayan hanya memanfaatkan waktu untuk memeriksa kondisi fisik dan mesin kapal ataupun alat tangkapnya.
Selain itu, para nelayan juga terpaksa memilih mencari pekerjaan serabutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga beberapa bulan selam musim paceklik berlangsung. Pekerjaannya macam-macam, ada yang menjadi tukang, buruh bangunan, sopir, kondektur, dan lainnya hingga menunggu cuaca kembali membaik untuk mendapatkan umpan hidup.
Ke Larantuka Lemahnya pasokan umpan selama musim paceklik itu mengharuskan nelayan mencari jalannya untuk mendapatkan pasokan umpan dari daerah lain. Seperti yang dilakukan seorang nelayan pole and line di PPI Tenau, Muhamad Nasir yang mengaku sering kali harus bertolak ke Larantuka, Kabupaten Flores Timur, untuk mencari umpan hidup.
Namun pelayaran ke Larantuka yang harus melewati bentangan Laut Sawu itu, menjadi beban tersendiri karena biaya kebutuhan bahan bakar yang disiapkan pun membengkak.
Untuk sekali melaut di area fishing ground?di perairan selatan Pulau Timor, hanya dibutuhkan sekitar 500 liter hingga 600 liter solar, sementara jika harus ke Larantuka maka kebutuhan solar yang dibeli dengan harga Rp6.000 per liter mencapai hingga 2.000 liter.
Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli umpan dari kapal bagan pun juga cukup tinggi, yakni berkisar antara Rp3 juta hingga Rp5 juta per ember.
"Mau tidak mau, kita harus ke sana (Larantuka) agar bisa mendapat umpan hidup. Karena pada saat musim panen ikan, umpan hidup harus banyak," kata pria asal Sulawesi itu.
Meskipun berlayar cukup jauh sekitar 125 mil hingga ke ujung timur Pulau Flores untuk mencari umpan hidup, namun hasil yang diperoleh juga tidak menentu.
"Untuk mendapat umpan hidup saja, kita harus berebutan dengan nelayan lokal di Larantuka. Jika terlambat atau tidak ikut berebutan, kita tidak bisa dapat umpan hidup. Kondisi ini yang sering kami alami," ujar Nasir.
"Masalah umpan hidup ini sering menjadi kendala bagi kami, saat tibanya musim panen ikan pada setiap tahunnya," katanya dan menambahkan kondisi ini yang sering dihadapi oleh nelayan sehingga produktivitasnya menurun yang kemudian memicu terjadinya kenaikan harga ikan di pasaran.
Budidaya Nener
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Nusa Tenggara Timur Ganef Wurgiyanto juga merasakan kesulitan nelayan Kota Kupang mendapatkan umpan hidup tersebut. Untuk itu, DKP telah mengembangkan budidaya nener atau benih bandeng di wilayah Tablolong, Kabupaten Kupang, yang baru dimulai dalam tahun ini, sebagai umpan hidup bagi nelayan setempat.
Tahap awal pengembangan benih bandeng atau nener ini sudah kami coba dan sudah berhasil hanya kami perlu memperbanyak lagi. Pengembangan nener itu untuk menghasilkan ketersediaan umpan hidup yang berkualitas terutama untuk memenuhi kebutuhan kapal-kapal nelayan cakalang yang melaut dengan alat tangkap pole and line.
Mantan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP NTT itu mengakui, umpan hidup bagi nelayan merupakan kebutuhan strategis yang membuat nelayan bisa melaut dengan lancar dan dapat meningkatkan hasil tangkapan.
Sementara jika hanya mengandalkan umpan hidup di alam maka pasokannya tidak menetu karena tergantung cuaca, selain itu harganya lebih mahal dengan tingkat persaingan yang tinggi sehingga menyulikan nelayan.
Untuk itu, katanya, pengembangan benih itu agar bisa menghasilkan nener bandeng berusia sekitar 1,5 bulan yang selanjutnya bisa dipasok dalam jumlah banyak untuk kebutuhan umpan bagi para nelayan cakalang.
Ganef belum memastikan seberapa besar kapasitas umpan yang dihasilkan dari pengembangan benih itu namun tahapannya sudah dimulai sehingga tinggal dipersiapkan secara baik untuk pengadaan dalam jumlah banyak.
Sementara itu, Sekretaris HNSI Nusa Tenggara Timur Wahid Wham Nurdin mengatakan, jika pengembangan benih nener tersebut menjadi jawaban pemerintah atas kesulitan umpan yang dihadapi nelayan maka usaha budidaya tersebut harus fokus dilakukan.
Karena bagaimana pun, kendala umpan hidup ini menjadi masalah klasik yang dihadapi nelayan pole and line setiap tahun, sehingga usaha budidaya umpan hidup seperti nener itu diharapkan dapat menjawab persoalan yang dihadapi para nelayan selama ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: