Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        IPOC XIII: All Out Membela Sawit

        IPOC XIII: All Out Membela Sawit Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Komoditas minyak sawit (CPO) menjadi penghasil devisa ekspor terbesar mengalahkan ekspor migas. Namun, belitan masalah di industri sawit begitu kompleks. Untuk mempertahankan sawit sebagai produk unggulan ekspor, diperlukan kesamaan langkah antara pemerintah dan pelaku industri sawit.?

        Ruang Bali Nusa Dua Conference Center riuh dengan tepuk tangan sekitar 1.700 orang ketika Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, memberikan sambutan. Dalam pertemuan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) ke-13 di Bali, 2?4 November 2017, Mendag secara lantang menyatakan siap berperang menghadapi Uni Eropa apabila produk minyak sawit asal Indonesia dikenakan tarif bea masuk tinggi.

        ?Kalau Uni Eropa melakukan itu (tarif BM tinggi) terhadap produk sawit Indonesia,?kita akan balas dengan langkah serupa,? tandas Enggartiasto, politisi asal Golkar ini. Ia memberi sinyal akan mengenakan tarif BM tinggi ke produk serbuk susu asal UE. Langkah serupa tidak menutup kemungkinan merambah ke produk impor asal UE lainnya, seperti minuman beralkohol. Langkah UE mengenakan BM tinggi ke sawit, bagi Enggartiasto identik dengan the act of trade war.

        Produk minyak sawit Indonesia tidak hanya diganjal hambatan tarif, tetapi juga berbagai isu miring melalui kampanye hitam sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di UE. Isu-isu miring yang diembuskan, seperti produk minyak sawit bersumber dari petani yang menghasilkan sawit dengan merambah dan merusak hutan lindung. Atau, isu pelaku industri sawit di dalam negeri yang mempekerjakan buruh di bawah umur dengan upah tidak wajar.

        Bagi pelaku industri sawit dan petani sawit, stigma miring terhadap mereka sudah seperti makanan sehari-hari. Boleh dibilang tiada hari tanpa persoalan di sawit. Ketika titik panas (hot spot) yang memicu kebakaran lahan dan semak mencuat, tudingan akan langsung tertuju ke perusahaan perkebunan sawit atau petani sawit. Padahal, belum tentu mereka yang berbuat. Begitu pula ketika terjadi kekeringan atau banjir, lagi-lagi telunjuk pun mengarah ke kebun sawit sebagai biang keladinya. Masih panjang lagi daftar tudingan ke sawit.

        Untuk menepis semua tudingan miring tersebut, pemerintah di Kementerian Pertanian merumuskan satu standar produksi minyak sawit lestari melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Pada intinya, ISPO berisi semua aturan terkait manajemen perkebunan sawit, tenaga kerja, budidaya, konsesi lahan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan pengelolaan lingkungan hidup. Sampai Agustus 2017, sudah ada 304 perusahaan yang memiliki sertifikasi ISPO. Berbekal sertifikasi ISPO ini, produk minyak sawit Indonesia bisa diterima di pasar global sebagai produk yang ramah lingkungan.

        Sertifikasi ISPO atau lainnya (seperti Rountrable Sustainable Palm Oil (RSPO)) boleh disematkan pada perusahaan sawit nasional, meski bukan jaminan bahwa sertifikasi tersebut dapat menjadi kartu sakti. Buktinya, negara-negara yang menjadi pasar tradisional ekspor minyak sawit Indonesia, seperti India, Cina, dan Uni Eropa mencegat dengan?hambatan tarif melalui?pengenaan bea masuk (BM) tinggi.?

        Misalnya, Perancis yang mengenakan pajak progresif atas minyak sawit Indonesia. Pada 2017, pajak impor sawit mencapai 300 euro per ton, naik menjadi 500 euro per ton pada 2018, 700 euro perton pada 2019, dan 900 euro per ton pada 2020. Alasan Perancis mengenakan BM progresif tersebut karena minyak sawit Indonesia diduga bersumber dari produk sawit yang merusak hutan. Pengenaan BM progresif itu diistilahkan sebagai ?sin tax? atau pajak penebus dosa.

        Apabila ditelisik lebih jauh, alasan pengenaan pajak BM tinggi tersebut lebih kental beraroma persaingan dagang. Seperti diketahui, negara-negara Uni Eropa menghasilkan minyak nabati dari minyak biji matahari (rapeseed), baik untuk keperluan pangan maupun biodiesel. Kehadiran minyak sawit yang jauh lebih murah harga jualnya dan tingkat produksinya lebih besar dari rapeseed, membuat produk rapeseed jadi kurang laku.?

        Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun, tidak memungkiri bahwa di balik tindakan pengenaan BM progresif adalah persaingan dagang. Ia memberi contoh persaingan produksi biodiesel. Menurut estimasinya, apabila 10 juta ton minyak sawit dikonversi ke minyak bunga matahari, diperlukan lahan 15 juta hektare. Padahal, di dataran Eropa tidak ada lahan seluas itu untuk ditanami bunga matahari.

        Untuk menghadapi tekanan terhadap produk minyak sawit tersebut, pelaku usaha sawit di Indonesia tidak bisa berjuang sendiri. Keterpaduan langkah dan sikap antara pemerintah RI dan pelaku usaha dalam spirit Indonesia Incorporated mutlak diperlukan. Diplomasi dagang Indonesia?Incorporated menjadi kunci agar produk minyak sawit Indonesia diperlakukan secara adil. Jika tidak demikian, langkah Perancis dan Uni Eropa akan diberlakukan juga oleh negara-negara lain dengan alasan yang mirip-mirip.

        ?Kami berharap dalam hal ini ada campur tangan pemerintah melalui diplomasi dagang," ujar Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pada IPOC ke-13 yang mengambil tema Growth Through Productivity: Partnership with Smallholders. Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi 35,6 juta ton minyak sawit (Crude palm oil (CPO)) pada 2016 dengan perkiraan nilai ekspor US$20 miliar.?

        Untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat produksi minyak sawit yang saat ini sudah menduduki rangking pertama penghasil devisa inilah, Gapki berharap sokongan pemerintah berupa kebijakan yang prosawit. Harap maklum saja apabila Gapki menaruh harapan besar adanya keberpihakan pemerintah terhadap sawit. Seperti sudah dinyatakan bahwa di sawit seperti tiada hari tanpa masalah. Akan selalu muncul isu miring menuding sawit yang belum tentu sepenuhnya benar.

        Ambil contoh isu kebakaran lahan (hot spot) yang ramai dibicarakan. Ketika muncul titik api yang kemungkinan berdekatan dengan lahan kebun sawit, serta merta tudingan mengarah ke pemilik kebun sawit sebagai penyulut api. Padahal, belum tentu demikian. Justru, sekarang ini, para pemilik perkebunan sawit menjalin kemitraan dengan penduduk desa di sekitar kebun mereka, membentuk semacam task force memandamkan setiap titik api yang ada di sekitar perkebunan atau desa.

        PT Triputra Agro Persada, misalnya. Anak usaha Triputra Group milik Theodore Permadi Rachmat yang memiliki 155 ribu ha di 23 estate di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Jambi ini membangun kemitraan dengan penduduk desa di sekitar lokasi kebun sawit mereka. Menurut Arif Permadi Rachmat, CoFounder Triputra Group, kemitraan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebakaran lahan. Dengan memanfaatkan satelit, putra TP Rachmat ini bisa mengetahui adanya titik api di sekitar lahan sawit perusahaan. ? Melalui kemitraan inilah kami bisa bahu-membahu mengatasi setiap titik hot spot,? ujar calon penerus Triputra Group.

        Semua persoalan yang membelit di seputar sawit terkuak di forum IPOC ke-13 di Nusa Dua, Bali. Forum ini digelar secara rutin setahun sekali untuk merekam semua peristiwa yang terjadi di sawit dan prospek sawit, seperti proyeksi harga sawit ke depannya (CPO price outlook). Inilah pertemuan akbar bagi segenap stakeholder sawit, termasuk petani sawit. Pada IPOC kali ini, dijalin kemitraan antara Gapki dan Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo). Kerja sama ini tidak hanya dalam konteks relasi perkebunan sawit besar dalam membina petani plasma sawit di sekitar mereka, tetapi lebih dari itu. Misalnya, bagaimana meningkatkan produksi sawit petani yang masih rendah.

        Pemerintah pun menyadari betapa tingkat produksi sawit milik petani masih?rendah, sekitar tiga ton per hektare. Rendahnya produksi sawit itu disebabkan oleh pemakaian benih tidak unggul. Untuk itulah, pemerintah melakukan program replanting sawit di 4.446 hektare kebun milik petani di Desa Panca Tunggal, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin pada 13/10/2017. Presiden Joko Widodo sendiri yang meresmikan program replanting tersebut. Sumber pendanaan replanting sawit ini berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD PKS) sebesar Rp25 juta per hektare. Luas lahan yang didanai hanya empat hektare bagi setiap petani.

        Apkasindo menargetkan setidaknya 1,5 juta hektare perkebunan milik petani sawit akan mengikuti program replanting. Melalui program replanting ini, tingkat produksi sawit petani akan melonjak setidaknya dua kali lipat. Dengan proyeksi peningkatan produksi sawit dari kebun petani ini, akan menambah pasok suplai minyak sawit dari kebun petani yang bisa diserap oleh industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri. Proyeksi penambahan pasok sawit kurun empat tahun ke depan ini juga menjadi cara lain dalam menambah pasok tanpa menambah luas lahan kebun sawit yang saat ini terkena kebijakan moratorium perluasan lahan sawit. Luas kebun sawit petani mencapai 3,8 juta atau 41% dari total luas kebun sawit nasional 11,3 juta ha.

        Program replanting itu mensyaratkan bahwa lahan sawit petani tadi harus sudah memiliki sertifikasi. Oleh sebab itu, pemerintah mengupayakan lahan-lahan petani yang belum tersertifikasi untuk mengikuti program reforma agraria dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Setidaknya, 1.000 bidang tanah untuk 25.00 ha akan dilakukan penataan ruang lahan untuk perkebunan sawit. Kementerian ATR/ BPN menargetkan lima juta sertifikat pada 2017 menjadi tujuh juta sertifikat pada 2019 dan sembilan juta sertifikat pada 2019. ?Pada 2025, seluruh tanah di Indonesia sudah bersertifikat,? ujar Menteri ATR/BPK, Sofyan Djalil, yang disambut riuh aplaus dari peserta IPOC ke13 di Bali.

        Dari pertemuan IPOC inilah satu per satu persoalan yang membelit komoditas sawit setidaknya mulai coba diurai. Sawit sebagai penghasil devisa terbesar merupakan komoditas strategis yang memerlukan kesatuan langkah antara pemerintah dan pelaku usaha sawit, termasuk petani dal am mengelolanya. Perbedaan pandangan dan kepentingan antara pemerintah dan pelaku industri sawit yang tergabung dalam Gakpi atau Apkasindo mungkin saja masih terjadi. Hal ini wajar-wajar saja. Tinggal bagaimana mengolahnya agar ego dan kepentingan bangsa yang menjadi prioritas.

        Pelaku industri sawit juga diharapkan terus berjalan dalam koridor yang sudah disepakati, baik melalui IPOC atau regulasi lainnya, dengan memperhatikan kepentingan warga sekitar kebun sawit. Pemerintah pun diharapkan dapat memperjuangkan sawit sebagai komoditas strategis yang menghidupi setidaknya 7,5 juta kepala keluarga dengan multiplier efek dalam hal pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan.

        ?Kalau melihat kontribusi sawit, saya tidak menyangkal peran komoditas sawit sangatlah penting bagi perekonomian Indonesia,? ujar Menteri Perekonomian, Darmin Nasution, saat membuka IPOC ke-13. Untuk itu, pemerintah akan all out dalam mengawal komoditas sawit agar semakin kinclong. Salah satu yang diupayakan yakni membuka pasar-pasar baru di luar pasar tradisional, seperti Pakistan, Iran, Rusia, dan Afrika. ?Dengan pengembangan pasar baru tersebut, kita berharap sawit Indonesia semakin cerah.??

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Heriyanto Lingga
        Editor: Ratih Rahayu

        Bagikan Artikel: