Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pekerja Migran dan Harga Diri Sebuah Bangsa

        Pekerja Migran dan Harga Diri Sebuah Bangsa Kredit Foto: Antara/Reza Novriandi
        Warta Ekonomi, Kupang -

        Meningkatnya jumlah pekerja migran dari Indonesia untuk bekerja di luar negeri salah satu indikator dari globalisasi atau integrasi internasional.

        Indonesia sebagai bagian integral dari ekonomi global tidak dapat melepaskan diri dari dinamika tersebut sehingga pengiriman pekerja migran ke luar negeri berdampak signifikan pada makro ekonomi. Oleh karena itu, dalam perkembangannya negara-negara tujuan TKI dari tahun ke tahun juga terus bertambah. Jauh sebelum Indonesia mengirim TKI ke luar negeri, pemerintah Belanda telah mengirim sekitar 32.986 orang TKI asal Pulau Jawa ke Suriname, suatu negara jajahan Belanda di Amerika Selatan pada 1890.

        Tujuan pengiriman TKI itu untuk mengganti tugas para budak asal Afrika yang telah dibebaskan pada 1 Juli 1863. Gelombang pertama pengiriman TKI diberangkatkan dari Batavia pada 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma.

        Pelayaran jarak jauh ini singgah di Negeri Belanda dan tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890. Jumlah TKI gelombang pertama ini sebanyak 94 orang, gelombang kedua sebanyak 614 orang, dan tiba di Suriname pada 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwarts. Kegiatan pengiriman TKI ini berjalan terus sejak 1890 sampai 1939 hingga jumlahnya mencapai 32.986 orang dengan menggunakan 77 kapal laut. Sejak 1890 hingga 1914, rute pelayaran pengiriman TKI ke Suriname selalu singgah di Negeri Belanda.

        Kantong pemasok buruh migran tidak lagi didominasi dari Jawa, tetapi daerah lain di Indonesia yang tanahnya kurang subur, seperti Nusa Tenggara Timur juga membuat warganya kabur dan memilih meninggalkan kampung halamannya untuk mencari nafkah yang lebih layak di negeri orang.

        Seiring perjalanan waktu, pengiriman tenaga kerja migran selama sekian lama hingga detik ini terlihat bahwa nasib mereka selama bekerja di luar negeri selalau tersandung masalah, entah itu karena mengalami penyiksaan atau bentuk kekerasan lainnya. Mencari nafkah hidup di luar negeri memang tidak mudah karena harus dilalui dengan penuh rintangan, pengorbanan, dan air mata. Akan tetapi, nyatanya hal ini masih saja diminati oleh ribuan warga negara Indonesia yang berpenghasilan kecil.

        Faktor utama yang menyebabkan warga Indonesia mencari kehidupan di negera lain karena kerusakan alam yang tidak terkendali, alam yang tidak bersahabat untuk bertani, penduduk miskin tidak memiliki lahan, tanah tidak subur, serta lahan berpindah tangan dan dikuasai oleh para pemegang modal. Banyaknya korban yang dialami TKI di luar negeri menunjukkan para pengusaha jasa tenaga kerja belum memberikan jaminan terhadap keselamatan TKI sehingga tren yang muncul adalah perusahaan pengerah tenaga kerja hanya mengejar profit.

        Jika dikelola secara profesional maka akan meningkatkan kinerja TKI di luar negeri. Sebab, dengan kriteria kinerja TKI yang baik menjadi kontribusi positif bagi peningkatkan produktivitas negara tujuan dan harapan TKI memperoleh penghasilan yang layak pun akan memberi dampak positif bagi pembangunan di Tanah Air. Terlepas dari pengelolaan TKI di luar negeri secara benar atau salah, para pekerja migran telah menjadi pahlawan devisa bagi bangsa dalam menggerakkan roda perekonomian di kampung halaman.

        Para pekerja migran mengirim upahnya untuk memperbaiki rumah keluarga di kampung halaman, membeli sawah, serta membantu biaya pendidikan anggota keluarganya. Mereka bersedia menjadi pekerja kasar dan berupah murah karena banyak tenaga kerja migran yang tidak melalui prosedur resmi. Mereka akhirnya menjadi sapi perahan para majikan di luar negeri, khususnya di "Negeri Jiran", Malaysia.

        Bencana terbesar kedua yang menyebabkan buruknya SDM di luar negeri adalah masih adanya praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang tidak bersih, seperti korupsi, pungli, sogok, dan nepotisme. Seandainya penduduk desa di Nusa Tenggara Timur memiliki lahan garapan yang subur, air yang melimpah, serta harga pertanian yang kompetitif maka urusan TKI atau buruh migran perlahan akan menghilang.

        Masalah pengerahan tenaga kerja ke luar negeri ini tidak bisa dihentikan begitu saja karena hampir dialami oleh semua negara, bahkan masyarakat pun memiliki persepsi senang dan bangga bila tempat kerjanya memiliki konsultan asing. Mengirim tenaga ke luar negeri sesunggunya adalah hal biasa yang bermasalah adalah pengelolaannya.

        Justru yang diharapkan, kalau boleh mengirim tenaga migran yang terdidik, berpengalaman, ahli di bidangnya ke luar negeri agar Indonesia dipuji karena menjadi bangsa yang pandai mencetak SDM tangguh. Sudah tidak terhitung penderitaan warga negera Indonesia di luar negeri ketika mengadu nasib sebagai tenaga kerja. Kasus yang muncul berbagai bentuk, seperti TKI yang dibunuh, diperkosa, pelecehan seksual, dianiaya, gaji tak dibayar, serta pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja.

        Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Hermono mengatakan dalam rentang waktu tiga bulan, Januari-Maret 2018, tercatat sebanyak 18 TKI asal Nusa Tenggara Timur meninggal di Malaysia. Dari data statistik, jumlah TKI asal NTT yang meninggal dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2016, misalnya, tercatat sebanyak 46 orang meninggal, hanya empat orang yang legal, sedangkan pada 2017, ada 62 TKI asal NTT yang meninggal dan hanya satu orang yang legal.

        Data yang dirilis BNP2TKI menunjukkan ada sekitar 2,7 juta sampai dengan tiga juta TKI yang bekerja di "Negeri Jiran", Malaysia. Lebih dari 50 persen TKI ini tidak memiliki dokumen resmi (undocumented) dan 92 persen permasalahan TKI di Malaysia karena berstatus ilegal.

        Konsulat Jenderal RI di Penang, Malaysia, Iwansha Wibisono, mengemukakan jumlah TKI yang meninggal di Malaysia pada 2017 sebagian besar berasal dari NTT.

        "Dari 69 TKI yang meninggal di Malaysia pada 2017, 62 orang di antaranya dari NTT," ujar dia.

        Sebagian besar TKI yang meninggal itu adalah TKI yang tidak memiliki dokumen sehingga perlu adanya upaya komprehensif dalam mengatasi fenomena TKI ilegal tersebut.

        "Aparat di tingkat kecamatan dan desa juga perlu terus melakukan sosialisasi bahwa Malaysia bukan lagi surga bagi para migran dari Indonesia," katanya.

        Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan pihaknya akan membentuk tim untuk mendata TKI ilegal yang bekerja di Malaysia, sebab pemerintahannya tidak mengetahui saat keberangkatan mereka, termasuk juga tidak mengetahui kerja mereka di sana, lalu tiba-tiba disiksa dan meninggal.

        "Kami menerima peti mayat terus. Terus terang, saya merasa tidak nyaman melihat rakyat dan anak-anak meninggal dengan cara itu. Sangat menyakitkan," ujar Lebu Raya sambil mencontohkan kasus kematian yang dialami Adelina Lisau, TKI asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang mengalami penyiksaan fisik oleh majikannya.

        Perwakilan Kementerian Luar Negeri Tody Baskoro dalam suatu pertemuan di Kupang mengatakan sebelum Adelina meninggal, majikannya tak memberinya makan dan disuruh tidur bersama seekor anjing. Dari hasil pemeriksaan oleh pihak otoritas di Malaysia, bukan penyiksaan secara fisik yang diterima oleh Adelina, tetapi karena tidak diberi makan sehingga membuatnya kelaparan sampai menghembuskan nafasnya yang terakhir.

        Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakiri meminta majikannya harus bertanggung jawab atas kematian TKI bernama Adelina (21) yang tewas mengenaskan itu.

        "Kami telah berkoordinasi dengan KBRI di Kuala Lumpur untuk menyelesaikan kasus tersebut," katanya.

        Para pekerja migran telah mencatatkan namanya sebagai pahlawan devisa dalam menggerakkan roda perekonomian pedesaan di Indonesia. Namun, kisah pilu yang dihadapinya di tanah rantau, membuat harga diri bangsa seakan terkoyak. Hal itu yang seharusnya diakhiri.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: