Menurut Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, kebijakan ekspor jagung ke Filipina oleh pemerintah dinilai kurang tepat.
"Jadi, sebenarnya tidak tepat satu klaim yang lalu seolah jagung sudah surplus, lalu kita ekspor. Tidak, ekspor jagung itu sudah hal yang rutin," kata?Dwi Andreas melalui informasi tertulis di Jakarta, Selasa (21/8/2018).
Dwi menjelaskan, ekspor tersebut bahkan sudah terjadi belasan tahun lalu dan biasa dilakukan ketika harga pasar jagung domestik sudah terjun ke bawah US$200 per ton. Rata-rata tiap tahun Indonesia terbiasa mengekspor jagung di kisaran angka 50 ribu ton. Tetapi, menurutnya, pilihan ekspor saat ini bukanlah hal yang tepat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, total produksi jagung di Indonesia per 2015 berada di angka 19,61 juta ton. Sebanyak 54,12% atau sekitar 10,61 juta ton diproduksi di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di berbagai pulau lain.
Hampir 40% sentra produksi jagung berada di luar Pulau Jawa. Sementara itu, mayoritas konsumen jagung yang merupakan perusahaan pakan ternak berada di Pulau Jawa. Lebih jauh, persoalan lemahnya distribusi justru menciptakan efek domino pada tidak meratanya harga jagung yang kemudian berimbas pada kenaikan harga pakan ternak, kenaikan harga telur maupun ayam ras akhir-akhir ini.
"Karena pabrik pakan ternak itu sekitar 69% ada di Pulau Jawa. Sehingga jagung-jagung yang luar Jawa, ini agak kesulitan juga terserap di industri pakan ternak yang ada di Jawa," ujar Guru Besar IPB ini.
Dwi melanjutkan, distribusi makin menjadi persoalan karena pola pengembangan jagung yang dilakukan Kementerian Pertanian diarahkan di luar Pulau Jawa.
Sebenarnya ini dapat dimaklumi, mengingat lahan di Pulau Jawa memang sudah sangat terbatas dan cenderung digunakan untuk penanaman padi.
Sebagai gambaran terdapat 10 sentra jagung di Indonesia, di mana hanya tiga di antaranya yang berada di Pulau Jawa. Kesepuluh sentra jagung tersebut, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, NTB, Gorontalo, NTT, dan Sumatra Barat.
Sementara itu, Sekjen Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Soya melihat, ekspor lazim dilakukan mengingat tidak seluruhnya jagung nasional terserap pasar domestik saat musim panen raya tiba.
Di sisi lain, jagung tidak bisa disimpan lama-lama karena belum ada infrastruktur penyimpanan dan pengeringan yang memadai.
Pada akhirnya, jumlah yang melimpah hingga 60-70% pada musim panen Oktober-Maret dipilih untuk diekspor, seperti ke Filipina. Ekspor pada masa itu pun menguntungkan karena harga yang ditawarkan lewat ekspor jauh lebih menjanjikan.
Di samping itu, biaya untuk mendistribusikan jagung-jagung tersebut ke luar negeri nyatanya lebih murah dibandingkan menyalurkannya ke pabrik-pabrik pakan di Pulau Jawa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti