Sesuai dengan peta jalan Making Indonesia 4.0, Indonesia ditargetkan masuk dalam jajaran lima besar produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) di dunia pada tahun 2030. Untuk mewujudkannya, pemerintah memprioritaskan pengembangan industri TPT sebagai pionir dalam peta jalan penerapan revolusi industri keempat.
Mudhori, Direktur Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki, dan Aneka Kementerian Perindustrian mengatakan implementasi industri 4.0 diyakini memperkuat daya saing global sektor TPT karena meningkatkan efisiensi dan kualitas produk.
?Sektor ini tergolong kompetitif karena sudah terintegrasi dari hulu hingga hilir, serta didukung sumber daya manusia yang besar untuk mendukung kegiatan produksi,? kata Muhdori dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Dalam era industri 4.0, lanjut Muhdori, hampir semua sektor industri mau tidak mau harus mulai menerapkan standar operasional serta sustainability yang tinggi. Era 4.0 ini harus berorientasi otomatisasi, internet of things, 3D printing, komunikasi machine-to-machine dan human-to-machine, serta artificial intelligence.
Menurut dia, era industri 4.0 merupakan keniscayaan, sekaligus tantangan dan kebutuhan industri TPT agar lebih efisien, sambil terus meningkatkan kompetensi SDM sesuai dengan perkembangan teknologi.
Sebagai sektor padat karya berorientasi ekspor, tutur Mudhori, industri TPT selama ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Berdasarkan catatan Kemenperin, ekspor TPT terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2017, kontribusi sektor TPT terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp150,43 triliun, sementara ekspornya US$12,58 miliar atau naik 6% dari tahun sebelumnya.
Jaminan Bahan Baku
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyampaikan bahwa bahan rayon lebih diminati untuk fesyen dibandingkan dengan bahan tekstil lainnya.
"Indonesia berpotensi menjadi salah satu pemain industri rayon terbesar di dunia, ditopang oleh ketersediaan lahan yang luas dan iklim yang mendukung. Kondisi ini membuat Indonesia unggul secara komparatif dibandingkan dengan negara produsen rayon lainnya," ujar Gita.
Gita menegaskan, kelangsungan industri serat rayon membutuhkan pasokan bahan baku secara berkesinambungan melalui hutan tanaman industri.
"Pabrik rayon yang didukung tanaman industri tidak hanya memperkuat struktur industri TPT, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor yang selama ini menjadi isu daya saing TPT nasional. Industri hulu ini bahkan mampu menghasilkan devisa karena sebagian produksinya diekspor," tegas Gita.
Kemenperin mencatat, kapasitas produksi industri serat rayon di dalam negeri sekitar 470 ribu ton pada tahun 2016. Kapasitasnya diperkirakan mencapai 565 ribu ton pada tahun 2017 dan ditargetkan tembus 700 ribu ton pada tahun 2018.
Sebagai informasi, pada 2019, kapasitas produksi industri rayon nasional diproyeksikan mencapai 1 juta ton, dan akan naik lagi menjadi 1,2 juta ton pada tahun 2021. Ketika ditanya mengenai tuduhan sebuah organisasi international, Canopy, yang menyatakan sumber bahan baku serat rayon berasal dari hutan Ancient dan Endangered di Sumatra dan Kalimantan, Gita membantah hal itu.
?Tuduhan seperti ini harus dibuktikan oleh mereka,? tegasnya.
Dia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung perkembangan industri TPT nasional.
Pakar kehutanan, Machmud Thohari, juga mempertanyakan laporan Canopy yang mengklasifikasikan hutan dengan menggunakan istilah ancient forest dan endangered forest.
?Sejauh pengetahuan yang saya miliki, istilah hutan ancient dan endangered tidak lazim digunakan dalam mengklasifikasikan hutan secara ilmiah,? tegasnya.
Menurut dia, istilah ancient forest mungkin dimaksudkan sebagai old forest atau hutan yang umurnya tua, demikian juga istilah endangered forest tidak dipakai dalam klasifikasi hutan.
?Istilah endangered lazim digunakan untuk mengklasifikasi spesies yang artinya terancam punah,? jelas Machmud.
Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim juga menyayangkan tuduhan Canopy tersebut karena memojokkan potensi industri strategis di Provinsi Riau.
?Tuduhan itu harus diklarifikasi sebab bisa menghambat investor dan pertumbuhan ekonomi Riau,? ujarnya.
Sekedar informasi, Perkembangan Ekspor dan Serapan Tenaga Kerja Sektor TPT tahun 2017 mencapai US$12,58 dengan 2,73 tenaga kerja. Sementara tahun 2018 diproyeksi mencapai 13,5US$ dengan 2,95 tenaga kerja, dan proyeksi 2019 mencapai US$15,0 dengan 3,11 tenaga kerja
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Kumairoh
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: