Gelombang penerapan teknologi 4.0 di Indonesia terus berkembang demikian pesat. Mulai dari semakin moncernya kinerja perusahaan startup di bidang e-commerce, sistem pembayaran, dan beragam lainnya hingga perubahan wajah industri konvensional yang terdorong untuk semakin go digital.
Di antara sekian banyak penyesuaian implementasi teknologi tersebut, konsep smart factory adalah salah satu bentuk terbaru yang mulai dilirik oleh sejumlah pelaku industri lantaran dapat berpotensi mendongkrak produktivitas dan mendorong kinerja pabrik menjadi semakin efisien. Namun, rupanya bukan perkara mudah untuk dapat mulai menerapkan smart factory secara masif di Indonesia lantaran terhalang oleh sejumlah kendala yang mendasar.
"Di negara-negara maju memang konsep ini sudah mulai banyak diterapkan. Namun, untuk negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, saya pikir belum. Baru dalam tahap persiapan (planning) untuk masuk ke industri 4.0. Dan smart factory juga menjadi bagian di dalamnya," ujar Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Warta Ekonomi?beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Smart Factory Hanya 'Ramah' untuk Perusahaan Besar
Karena masih dalam tahap persiapan, dalam pandangan Bhima, sedikitnya ada tiga kendala mendasar yang menjadi penghalang diterapkannya smart factory dan upaya pemanfaatan teknologi 4.0 secara umum. Kendala pertama yang sangat mendasar menurut Bhima adalah ketersediaan jaringan internet yang memadai yang seharusnya menjadi tulang punggung dalam penerapan smart factory.
"Kita harus akui bahwa faktanya sejauh ini kondisi bandwith di Indonesia masih terbilang 'jongkok' dan sangat tertinggal dibanding negara-negara lain di dunia. Ini hambatan pertama yang cukup menyulitkan. Lalu, kedua adalah soal ketersediaan SDM (Sumber Daya Manusia) yang sesuai dengan teknologi terbaru yang bakal digunakan," tutur Bhima.
Dengan penerapan smart factory, lanjut Bhima, maka dengan sendirinya akan dibutuhkan tenaga-tenaga dengan kemampuan yang mencakup profesi baru, seperti profesi operator sistem Artificial Intelligence (AI), tenaga-tenaga ahli yang memahami betul soal robotik, hingga pekerja yang mumpuni dan berpengalaman di bidang teknologi informasi (TI) berikut turunannya, seperti data scientist, IoT engineer, dan semacamnya. Kebutuhan SDM yang kekinian tersebut sejauh ini belum mampu dijawab oleh perguruan-perguruan tinggi dan sekolah vokasi yang ada di Indonesia.
"Yang saya tahu SDM dengan kualifikasi seperti di atas, kebanyakan mereka belajar secara otodidak atau sekolah di luar negeri. Sedang untuk suplai dari dalam negeri belum ada. Ini jelas masalah. Lalu terakhir, bagi saya, mustahil kita berangan-angan bisa menerapkan smart factory dan bahkan teknologi 4.0 secara luas bila anggaran belanja riset yang disiapkan pemerintah masih sangat minim. Akhirnya, antara suplai dan permintaan enggak ketemu," tegas Bhima.
Baca Juga: Benarkah Smart Factory Masih Sulit Diterapkan di Indonesia?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: