Indonesia dan Malaysia merupakan produsen dan eksportir raksasa dunia untuk crude palm oil (CPO) sejak tahun 1965.
Kedudukan Malaysia berhasil digeser oleh Indonesia mulai tahun 2016 dengan pangsa pasar mencapai 54%, sedangkan Malaysia hanya 32% terhadap pasar global. Bersamaan dengan itu, CPO Indonesia berhasil menggeser soybean oil (SBO) dari Amerika Serikat dan merajai pasar minyak nabati global.
Setiap tahunnya, sekitar 75% dari total produksi CPO Indonesia diperuntukkan bagi kebutuhan ekspor dan sisanya untuk konsumsi domestik. Sedangkan, Malaysia menyumbang sekitar 20% dari total produksinya untuk ekspor.
Baca Juga: Menelisik Fluktuasi Harga CPO di Tahun 2019?
Fluktuasi produksi CPO antara Indonesia dan Malaysia pada Januari-Juli 2019 terjadi sangat linear. Persentase penurunan jumlah produksi CPO yang paling signifikan di Indonesia terjadi pada Maret-April sebesar 17,6%.
Penyebabnya adalah adanya penerapan regulasi tambahan terkait CPO oleh negara tujuan ekspor sehingga menghambat pasar CPO Indonesia. Misalnya, India yang menaikkan tarif impor pada Maret untuk CPO dan refined products sebesar 4% dari tarif yang berlaku sebelumnya sehingga mengakibatkan Indonesia kehilangan pasar utama.
Selain itu, penerapan Delegated Act Renewable Energy Directive (RED) II oleh European Union juga menimbulkan sentimen negatif bagi minyak sawit Indonesia. Lebih lanjut, hal ini akhinya memaksa industri dalam negeri untuk mengurangi produksi CPO sesuai dengan ketersediaan pasar.
Sedangkan Malaysia mengalami depresiasi produksi CPO terbesar pada Januari-Februari yakni 11,1%. Mengutip statement dari Analis CPO Malaysia, indikasi terjadinya depresiasi produksi CPO di Malaysia yaitu lebih sedikitnya jumlah hari orang kerja (HOK) pada bulan Februari sehingga mempengaruhi kapasitas hasil produksi.
Tidak hanya itu, banyaknya pohon kelapa sawit yang sudah memasuki masa istirahat atau uzur di awal tahun 2019 menyebabkan produktivitas TBS juga terganggu.
Signifikansi kenaikan jumlah produksi CPO bagi Indonesia dan Malaysia terjadi pada Juni-Juli sebesar 15,6%. Kenaikan produksi tersebut merupakan dampak dari adanya hari libur lebaran sehingga tandan buah segar (TBS) yang seharusnya dipanen di bulan Juni, baru dapat dipanen di bulan Juli.
Meskipun jumlah produksi meningkat, namun konsumsi lokal menurun sebesar 6% pada Juli. Hal tersebut dikarenakan industri kelapa sawit cenderung mengeluarkan stok kelebihan produksi yang dipersiapkan untuk kebutuhan lebaran pada Mei-Juni lalu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo